Pariwisata dan Masalah Lingkungan
Pada
dasarnya kegiatan pariwisata adalah kegiatan menjual lingkungan. Orang yang
bepergian dari suatu daerah ke daerah tujuan wisata adalah ingin menikmati
lingkungan, seperti pemandangan alam, atraksi budaya, arsitektur, makanan dan
minuman, benda seni, dan lainnya yang berbeda dengan lingkungan tempat
tinggalnya.
Pariwisata
adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya
lingkungan. Sektor wisata sebagai industri jasa merupakan sektor yang sangat
peka terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti pencemaran limbah domestik,
kumuh, adanya gangguan terhadap wisatawan, penduduk yang kurang/tidak bersahabat,
kesemerautan lalulintas, kriminalitas, dan lain-lain, akan dapat mengurangi
jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Oleh karena itu
pengembangan pariwisata harus menjaga kualitas lingkungan.
Menurut
Mihalic (2000 dalam Hakim 2004), kualitas lingkungan meliputi kualitas bentang
alam atau pemandangan alamiah itu sendiri. Kualitas ini dapat menurun karena
aktivitas manusia. Menurut hukum permintaan wisata, kualitas lingkungan
merupakan bagian integral dari suguhan-suguhan alamiah. Dengan demikian,
pemeliharaan terhadap kualitas lingkungan menjadi syarat mutlak bagi daya tahan
terhadap kompetisi pemilihan tujuan wisata oleh wisatawan. Jika kualitas lingkungan
suatu daerah tujuan wisata menurun, maka tempat tersebut cenderung diabaikan.
Beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kepariwisataan, berkaitan dengan
aspek lingkungan, yaitu:
1.
Daya
dukung lingkungan
Setiap daerah tujuan wisata mempunyai
kemampuan tertentu dalam menerima jumlah wisatawan. Kemampuan ini yang disebut
sebagai daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah
wisatawan per satuan luas daerah tujuan wisata (lokasi) persatuan waktu. Daya
dukung lingkungan tersebut berbeda-beda, sesuai dengan faktor psikologis tujuan
kegiatan pariwisata. Misalnya orang yang pergi ke Plaza, orang merasa senang
untuk berdesak-desakan, kalau tidak bersenggolan, sepertinya tidak merasa ke
Plaza. Sebaliknya orang yang pergi ke Musium atau pantai yang romantis, tidak
menginginkan jumlah orang yang banyak, ramai, dan bising. Antara Plaza,
Pasar Malam, pantai dan Musium, mempunyai tujuan yang terkait dengan faktor
psikologis, sehingga daya dukungnya berbeda.
Faktor lain yang menentukan daya
dukung lingkungan yaitu kondisi biofisik daerah tujuan wisata atau lokasi
wisata. Lingkungan biofisik menentukan kuat atau rapuhnya suatu ekosistem.
Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung lingkungan yang tinggi. Daya dukung
lingkungan yang tinggi, lebih banyak dapat menerima sejumlah wisatawan. Daya
dukung lingkungan yang kuat, tidak mudah rusak karena gangguan wisatawan,
jikalaupun rusak, maka pengembalian atau pulihnya cepat. Ekosistem puncak
gunung atau kawah, misalnya Gunung Bromo, dengan suhu yang rendah, tanah yang
asam yang kurang subur, adanya gas beracun seperti uap belerang, merupakan
ekosistem yang rapuh. Jika terjadi kerusakan, seperti pengambilan bunga
Edelweis yang berlebihan, maka untuk “pulih kembali” memerlukan waktu yang
cukup lama. Sebaliknya Plaza atau Mall atau tempat tujuan wisata buatan,
seperti taman dan pemandian, mempunyai lingkungan biofisik yang kuat. Artinya
dapat menampung lebih banyak wisatawan. Kerusakan ekosistemnya dengan mudah
untuk dapat dikembalikan lagi.
Daerah tujuan wisata atau tempat
wisata yang mempunyai daya dukung lingkungan yang rendah, haruslah hati-hati
dalam pengembangannya. Jumlah wisatawan yang masuk harus dibatasi, serta
diawasi dengan baik/ketat. Hal ini untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungannya,
antara lain pembuangan sampah, sebab sampah lambat membusuk pada daerah yang
dingin, terlebih sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang oleh alam.
Salah satu contoh daerah tujuan wisata
yang memperhatikan daya dukung lingkungan yaitu Tanah Lot. Jumlah wisatawan
yang boleh masuk sampai bagian luar dan tengah (bagian utama tidak untuk wisatawan).
Jumlah wisatawan yang masuk, sejumlah selendang yang tersedia, karena setiap
wisatawan yang masuk diharuskan memakainya. Wisawatan lain boleh masuk apabila
selendang sudah dikembalikan, artinya ada wisatawan yang sudah keluar.
2.
Keanekaragaman
Wisatawan yang berkunjung ke suatu
daerah tujuan wisata dengan minat, tujuan, umur, jenis kelamin, kondisi sosial
ekonomi, dan budaya yang beranekaragam. Dalam pengembangan kepariwisataan harus
diusahakan adanya suatu keanekaragaman obyek sebagai daya tarik wisata serta
faktor penunjangnya.
Usaha penganekragaman didasarkan pada
faktor tujuan, umur, dan mode wisatawan. Misalnya pda obyek wisata Candi
peninggalan sejarah, penganekaragamannya disesuaikan dengan wisata sejarah. Demikian
juga dalam penganekaragaman, disesuaikan dengan kelompok umur wisatawan yang
akan menikmati atraksi atau penggunaan fasilitas penunjangnya. Penganekaragaman
disesuaikan dengan mode kepariwisataan yang sesuai dengan perkembangan sosial,
ekonomi, dan budaya saat ini. Contoh mode wisata yang baru antara lain:
melakukan wisata sambil berolah raga di daerah tujuan wisata, kegiatan
pariwisata yang dikaitkan dengan daerah tujuan wisata sebagai tempat
dilangsungkannya suatu pertemuan atau konferensi, baik tingkat nasional,
regional maupun internasional.
3.
Keindahan
alam
Keindahan suatu bentang alam harus
tetap dijaga keasliannya, sebab merupakan aset kepariwisataan yang tinggi.
Dalam pembangunan pariwisata sering diubah bentang alam (natural landscape) dengan alasan untuk tujuan wisata. Contoh (1)
jalan berkelok di pegunungan dengan lembah yang indah, ditutup oleh papan
reklame yang sangat besar, warung-warung pinggir jalan yang tidak teratur dan kumuh,
(2) danau atau telaga yang alami pada bagian pinggirnya dibuat dalam atau
dibangun rumah peristirahatan, restoran dan hotel yang dekat ke danau, sehingga
danau berubah menjadi kolam besar (kolam raksasa). Di samping itu badan
perairan tersebut tercemar oleh limbah cair dari berbagai aktivitas dari
bangunan yang ada di sekitarnya.
4.
Vandalisme
Grafiti
Vandalisme adalah kegiatan yang
merusak. Vandalisme yang berkaitan dengan pariwisata adalah vandalisme grafiti
berupa coretan-coretan di berbagai tempat termasuk pada obyek-obyek wisata,
seperti candi, tebing, tanda lalulintas, tembok bangunan, telpon umum dan
lainnya. Vandalisme dalam bentuk yang lain yaitu merusak benda-benda tertentu
atau memotong pohon pada saat berkemah, memetik bunga, mengambil tanaman, dan
lainnya.
Kegiatan yang merusak ini,
aktivitasnya semakin meningkat, terlihat dari banyaknya benda-benda yang
dirusak serta sebarannya semakin meluas. Hal ini terutama dilakukan oleh
wisatawan domestik remaja, serta berkaitan dengan masa libur sekolah.
Vandalisme sangat merugikan pariwisata, seperti perusak dan coretan dengan cat
pada Candi. Hal ini pernah diungkapkan oleh Jove Ave pada Konferensi Nasional Pusat
Studi Lingkugan di Denpasar pada Oktober 1996. Semakin berkembangnya kegiatan
pariwisata, maka vandalisme ini harus dicegah sedini mungkin dengan berbagai
cara, salah satunya adalah melalui jalur pendidikan di sekolah atau luar
sekolah.
5.
Pencemaran
Pencemaran merupakan musuh utama
industri pariwisata. Pada sisi lain kegiatan pariwisata merupakan pencemaran
yang besar pula. Semakin sukses kepariwisataan pada suatu daerah, semakin besar
pula bahaya pencemarannya. Salah satu bentuk pencemaran adalah limbah padat
berupa sampah yang dihasilkan oleh kegiatan wisatawan maupun limbah padat dan
cair dari hotel-hotel.
Masalah pencemaran ini terjadi akibat
kurang sadarnya wisatawan, terutama domestik dalam membuang limbah dari hasil
kegiatannya selama berwisata. Umumnya wisatawan domestik yang melakukan
perjalanan dengan keluarga atau rombongan, melakukan kegiatan “pindah makan dan
minum”. Masalah pencemaran menjadi lebih meningkat, apabila pada tempat wisata
tidak ada atau kurang sekali penyediaan tempat sampah. Jika tersedia tempat
sampah, maka penempatannya yang sering kurang representatif.
6.
Dampak
Sosial Budaya
Adanya wisatawan ke suatu daerah
tujuan wisata, maka telah terjadi interaksi antara wisatawan dengan penduduk
setempat. Wisatawan yang datang mempunyai latar belakang geografi, sosial,
ekonomi, budaya yang berbeda dengan penduduk setempat. Penduduk setempat akan
menyerap budaya wisawatan, sebaliknya wisatawan juga menyerap budaya lokal.
Dampak interaksi tersebut ada yang positif dan ada yang negatif.
Wisatawan terutama dari manca
negara/internasional untuk kalangan menengah dan atas, memerlukan fasilitas
sesuai dengan standarnya. Hal ini kemudian merupakan suatu “enklave” atau pulau
di tengah masyarakat yang masih terbelakang dengan kondisi sosial ekonomi yang
sangat berbeda. Perkembangan kegiatan kepariwisataan semakin meningkat, maka
perlu diantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan yang akan merugikan
kelangsungan pariwisata dan penduduk setempat/lokal.
Dampak sosial budaya yang lain dalam
kaitannya dengan pariwisata adalah seks. Pariwisata terkait erat (atau sering
dikaitkan) dengan berbagai penyakit sosial seperti pelacuran, kriminal dan
penyalahgunaan narkoba. Hall (1992, dalam Pitana 2005) menyebutkan bahwa seks
atau prostitusi merupakan “bagian integral” dari pariwisata. Merupakan suatu
kenyataan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual merupakan salah satu motivasi orang
melakukan perjalanan wisata. Prostitusi/pelacuran tidak bisa dilepaskan dengan
kehidupan masyarakat. Ini adalah salah satu bisnis yang selalu menyertai
perkembangan sebuah destinasi pariwisata. Berbagai DTW di Asia sangat terkenal
dengan pariwisata seks, seperti Thailand
(khususnya Bangkok), Indonesia
(khususnya Dolly) dan Filipina (khususnya Quiapo dan Cebu).
Bahkan Malaysia
juga sudah menjadi salah satu titik dalam peta perjalanan wisata seks.
7.
Mintakat
(Zone)
Dalam pembangunan kepariwisataan timbul berbagai
konflik berkaitan dengan tata ruang. Pada satu sisi ingin hal yang bersifat
alami, tetapi sis yang lain menghendaki membangun fasilitas atau hotel dekat
pantai. Wisatawan tertarik dengan pantai yang indah, tetapi jumlah wisatawan yang
banyak justeru dapat menyebabkan kawasan pantai menjadi rusak. Konflik
kepentingan dapat dikurangi atau diatasi dengan perencaan tata ruang yang
disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang ada. Hal ini kemudian akan
menghasilkan permintaan dalam keruangan (Zonasi). Masing-masing mintakat diberi
peruntukan berdasarkan potensi geografis, sehingga fungsi utama obyek wisata
dan penunjangnya tidak tumpang tindih dan berbagai kepentingan umum tidak
terganggu atau dikorbankan hanya semata-mata untuk kepentingan pariwisata saja.
Komentar
Posting Komentar