Perkembangan AMDAL secara Internasional

AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) atau EIA (Environmental Impact Assessment) mulai diperkenalkan di Amerika melalui US National Environmental Policy Act, NEPA atau Undang Undang Perlindungan Lingkungan pada tahun 1969 dan mulai diterapkan pada tahun 1970 (Canter, 1977: 1; Gilpin, 1995: 2; Bregman, 1999: 1). Perangkat AMDAL telah diadopsi oleh lebih dari seratus negara di dunia (Sadler, Canadian Environmental Assessment Agency et al. 1996, 26; Glasson, Chadwick et al. 1999, 37-38). Perangkat ini diakui merupakan perangkat perencanaan yang sangat kuat dan telah direkognisi oleh PBB melalui Deklarasi Rio pada tahun 1992 yang menyebutkan bahwa sebagai instrumen nasional, AMDAL harus dilaksanakan untuk rencana kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting: Environmental impact assessment, as a national instrument, shall be undertaken for proposed activities that are likely to have a signifi cant adverse impact on the environment and are subject to a decision of a competent national authority. (Principle 17 of the Rio Declaration on Environment and Development, UNCED 1993) Pada saat ini penerapan AMDAL tidak hanya digunakan oleh negara-negara maju saja tapi juga telah berkembang dan digunakan oleh negara berkembang. Jelas bahwa AMDAL telah menjadi suatu perangkat penting untuk mengelola lingkungan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Menghubungkan AMDAL dengan konsep pembangunan berkelanjutan merupakan hal penting untuk memahami landasan kerangka kerja AMDAL secara internasional. Wacana tentang pembangunan berkelanjutan nampaknya sudah mengkristal dan mendorong ke arah yang lebih baik untuk menghasilkan kebijakan lingkungan yang lebih baik. Salah satu konsensus yang dicapai adalah bahwa sumber daya alam harus dikelola dengan lebih baik dan harus adanya perubahan sikap manusia dalam tindakannya terhadap lingkungan. Beder (1993) menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk membuat modifi kasi yang diperlukan yang memberikan jalan untuk kegiatan yang lebih berkelanjutan untuk kepentingan di masa mendatang. Pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik berarti perencanaan dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Melalui proses AMDAL, diharapkan adanya penyampaian informasi yang lebih baik tentang dampak lingkungan kepada stakeholder atau pemangku kepentingan pembangunan terutama kepada para pengambil keputusan. Dalam konteks inilah AMDAL memainkan peranan penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Menurut Wood (1995), AMDAL secara formal pada dasarnya adalah suatu teknik untuk mengkaji secara keseluruhan dan sistematis, dampak lingkungan dari suatu proyek dan menyajikan hasilnya dalam suatu cara yang memungkinkan untuk memprediksikan kepentingan dampak, dan membuat pelingkupan untuk memodifi kasi dan menangani dampaknya untuk dievaluasi secara tepat sebelum suatu keputusan diambil. Indonesia adalah negara yang menerapkan AMDAL pada urutan ke empat setelah Filipina,Thailand, dan Korea Selatan karena sebenarnya Indonesia telah memiliki dasar hukum pelaksanaan AMDAL pada tahun 1982 dibanding Malaysia yang baru melakukannya pada tahun 1987. Menurut literatur tersebut, ada dua kriteria yang belum dilaksanakan di Indonesia yaitu pelaksanaan pelibatan masyarakat dan pertimbangan dampak kumulatif. Pelibatan masyarakat telah diakomodasi sejak tahun 2000 (Purnama 2003) dan dampak kumulatif sedang diupayakan menjadi bagian dari kajian AMDAL. Dari literatur tersebut terlihat hanya empat negara di Asia Timur yang melakukan pemantauan hasil AMDAL yaitu Korea Selatan,  Hongkong, Filipina, dan Indonesia.

Sumber : Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL (Pusdiklat Kementerian Negara Lingkungan.Hidup) 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sapaan dalam Bahasa Banjar

Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)

Bahasa Banjar