Perkembangan AMDAL di Indonesia

AMDAL merupakan kependekkan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang merupakan suatu sistem atau proses yang melibatkan suatu kajian/studi dan menghasilkan beberapa dokumen seperti:
(1) dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan atau KA ANDAL,
(2) dokumen ANDAL,
(3) dokumen RKL dan RPL, di sisi lain terdapat dokumen
(4) UKL dan UPL bagi kegiatan yang tidak wajib dilengkapi dengan AMDAL.
Pada saat ini UU No. 23 tahun 1997 dan PP No. 27 tahun 1999 merupakan landasan hukum pelaksanaan AMDAL. Pelaksanaan AMDAL di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode yaitu tahap implementasi, pengembangan, perbaikan, dan revitalisasi.

Tahap Implementasi: pra-1987, UU 4/1982 dan periode 1987 – 1993, PP No. 29/1986.
AMDAL mulai diterapkan di Indonesia secara formal pada tahun 1982 melalui penerapan Undang Undang nomor 4/1982 namun belum dilaksanakan secara luas karena belum adanya pedoman pelaksanaan yang lebih rinci walaupun pada periode ini sudah ada yang melakukan studi AMDAL sebagai pemenuhan persyaratan bantuan luar negeri dan permintaan lembaga donor. Pada periode ini implementasi AMDAL masih terbatas karena masih kurangnya pemahaman AMDAL oleh para stakeholder. Barulah pada tahun 1986 ketika Peraturan Pemerintah nomor 29/1986 tentang AMDAL mulai diberlakukan, AMDAL secara sistematis mulai dilaksanakan dan bahkan cenderung sangat ekstensif karena banyak sekali kegiatan yang diwajibkan menyusun AMDAL dan melakukan evaluasi lingkungan melalui Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, SEMDAL. Dapat dilihat bahwa pengenalam AMDAL di Indonesia pada tahun 1980an merupakan suatu hasil perkembangan kepedulian lingkungan secara internasional sebagai imbas dari Konferensi Stockholm. Hal ini didorong pula oleh bantuan program dari Pemerintah Kanada dalam penyusunan perangkat peraturan AMDAL sejak tahun 1983 (BAPEDAL & EMDI, 1994: 29). Berbagai panduan disusun untuk melaksanakan AMDAL termasuk panduan teknis dari berbagai instansi sektoral. Namun demikian koordinasi antar lembaga pelaksana AMDAL belum demikian terjalin dengan baik pada periode ini. Demikian pula Sekretariat dan Komisi AMDAL sebagai badan yang melakukan proses administrasi dan mengkaji secara teknis belum terlalu berkembang.

Tahap Pengembangan: antara 1993 – 2000, PP No. 51/1993.
Tahap ini memberi penekanan pada penyederhanaan proses AMDAL sejalan dengan deregulasi birokrasi pemerintahan. Muatan deregulasi mencakup penghilangan proses SEMDAL dan pengenalan berbagai pendekatan dalam proses AMDAL (proyek tunggal, terpadu, kawasan, dan regional). Dengan hilangnya proses SEMDAL, beban kerja instansi yang melaksanakan AMDAL menjadi lebih proporsional, demikian pula jumlah kegiatan wajib AMDAL menjadi lebih sedikit dan lebih tepat sasaran. Menurut laporan Bapedal (2000) terdapat sekitar 7.000 dokumen yang diproses hingga awal tahun 2000 atau 4.507 dokumen yang dinilai pada kurun waktu 1993 hingga 1997. Pada masa ini pula institusi Bapedal mulai beroperasi dengan baik dan memiliki otoritas untuk pentaatan AMDAL dan pengawasan kualitas dari dokumen yang dihasilkan. Hal yang cukup menarik pada periode ini adalah diperkenalkannya berbagai pendekatan studi AMDAL yang semula hanya dikenal melalui pendekatan proyek (seperti di negara asalnya). Pada periode ini paling tidak terdapat empat pendekatan dalam studi AMDAL yaitu AMDAL proyek, regional, kawasan, dan terpadu. Dengan pendekatan ini diharapkan proses AMDAL menjadi lebih efektif dan berbagai isu seperti dampak kumulatif atau dampak yang lebih strategis dapat diantisipasi.

Tahap Perbaikan (Refi nement): pasca-2000, UU 23/1997 dan PP No. 27/1999.
Tahap ini memberikan penekanan pada prosedur pelibatan masyarakat, sentralisasi kewenangan dari sektoral kepada Bapedal dan redesentralisasi pelaksanaan AMDAL kepada pemerintah daerah (propinsi) serta adanya pendekatan AMDAL lintas batas. Periode ini ditandai dengan pembubaran Komisi Penilai AMDAL di departemen sektoral dan pemusatan pelaksanaan AMDAL oleh Bapedal. Bapedal mendistribusikan kewenangan AMDAL ini ke tingkat propinsi. Dari sisi positif dapat dikatakan bahwa penilaian AMDAL diharapkan menjadi lebih obyektif dan tidak bias dengan kepentingan pembangunan oleh instansi sektoral. Di samping itu, desentralisasi kewenangan AMDAL ke tingkat propinsi menunjukkan berjalannya prinsip akuntabilitas daerah dalam pembangunan berkelanjutan. Dari sisi negatif dapat dikatakan bahwa perubahan ini menghilangkan sumber daya manusia AMDAL di departemen sektoral dan menurunkan perhatian lingkungan oleh instansi teknis pelaksana pembangunan fisik. Dari sisi kemajuan sistem AMDAL, selain pendekatan lintas batas, periode ini juga mengenalkan mekanisme pelibatan masyarakat yang lebih intensif di dalam proses AMDAL. Demikian pula proses AMDAL menjadi lebih sederhana dan kegiatan wajib AMDAL menjadi lebih sedikit dan proporsional hanya untuk rencana kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting. Namun demikian, pada masa ini terdapat kemunduran yang sangat berarti karena perubahan kondisi politik di tanah air. Institusi Bapedal yang menjadi ujung tombak pelaksanaan AMDAL dibubarkan pada tahun 2002 dan fungsi tugasnya digabungkan ke dalam KLH. 14 Di sisi lain, kebijakan otonomi daerah telah memberikan kewenangan pemerintahan seluas-luasnya kepada tingka kabupaten dan kota. Hal ini termasuk kewenangan untuk proses AMDAL. Dikatakan kemunduran karena pelaksanaan AMDAL oleh pemerintah kabupaten dan kota tidak dipersiapkan secara matang secara peraturan atau pun secara teknis. Sebagai bukti, hingga saat ini Peraturan Pemerintah nomor 27/1999 hanya memberikan kewenangan proses AMDAL hingga tingkat propinsi.

Tahap Revitalisasi AMDAL: setelah 2004-2007.
Para praktisi AMDAL menyadari masih banyaknya kekurangan di dalam sistem pengelolaan lingkungan, termasuk di dalam sistem AMDAL. Untuk itu terdapat keinginan untuk meningkatkan beberapa hal seperti adanya wacana akan perlunya undang-undang AMDAL tersendiri (seperti NEPA) yang memberikan klausal sanksi hukum yang jelas terhadap pelanggar proses AMDAL, reformasi mekanisme AMDAL, pengaturan wewenang proses AMDAL  sejalan dengan revisi UU Pemerintahan Daerah dan perlunya perangkat pengelolaan lingkungan lainnya pendukung AMDAL (Kajian Lingkungan Strategis KLS, Kajian Risiko Lingkungan KRL atau Environmental Risk Assessment ERA, Sistem Manajemen Lingkungan SML atau Environmental Management System EMS, Audit Lingkungan) di dalam perangkat pencegahan. Hal ini bermuara pada perubahan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/1997) yang hingga saat ini masih dibahas. Tendensi yang ada saat ini adalah bahwa kewenangan AMDAL tetap didistribusikan hingga tingkat pemerintah kabupaten dan kota. Sementara itu, perdebatan untuk pemberian sanksi hukum masih terus bergulir untuk dicantumkan dalam Rancangan Undang Undang Lingkungan Hidup yang baru. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang AMDAL pun sedang dikaji dan disusun. Beberapa ide seperti penyederhanaan proses AMDAL (lebih cepat) dan perubahan mekanisme AMDAL masih terus dikaji untuk perubahan ke arah yang lebih baik.

Sumber : Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL (Pusdiklat Kementerian Negara Lingkungan.Hidup) 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sapaan dalam Bahasa Banjar

Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)

Bahasa Banjar