Pengaruh Iklim Bagi Pertanian dan Kelautan

Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan masuk ke dalam pengaruh kawasan laut pasifik. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal (Walker), dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia.
Selain itu posisi matahari berpindah dari 23.5 LS ke 23.5 LU sepanjang tahun, aktifitas moonson juga ikut berperanan dalam mempengaruhi keragaman iklim. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi yang sangat beragam maka sistem golakan lokal juga cukup dominan dan pengaruhnya terhadap keragaman iklim di Indonesia tidak dapat diabaikan.
Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim Indonesia ialah gangguan siklon tropis. Semua aktifitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun. Yang menjadi permasalahan sampai saat ini faktor mana yang paling dominan mempengaruhi iklim di Indonesia
Berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal.
Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.
Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator.
Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson. Wilayah Indonesia disepanjang garis khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan moonson terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera. Sedangkan salah satu wilayah mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
Salah satu penyebab terjadinya gangguan pada sirkulasi Walker ialah fenomena ENSO. ENSO merupakan istilah yang mendeskripsikan secara keseluruhan osilasi selatan (fenomena atmosfer) beserta peningkatan suhu muka laut dan juga penurunan suhu muka laut (fenomena lautan). Namun seringkali istilah ini digunakan oleh banyak pakar untuk merujuk kepada kejadian El-Nino (warm event) saja, yaitu meningkatnya suhu muka laut di kawasan tengah dan timur ekuator laut pasifik. Osilasi selatan (southern oscillation) adalah osilasi tekanan atmosfer kawasan laut pasifik dan atmosfer laut Indonesia-Australia. Untuk memonitor osilasi selatan ini dibuatkan indeks osilasi selatan (SOI) yaitu nilai perbedaan antara tekanan atmosfer di atas permukaan laut di Darwin (Australia) dan Tahiti (Pasifik Selatan), dimana semakin negatif nilai SOI berarti semakin kuat kejadian panas (warm event atau El-Nino) dan sebaliknya semakin positif nilai SOI semakin kuat kejadian dingin (cold event atau La-Nina)
Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah, 2003 dalam Boer, 2003). Hal ini menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ini. Pada saat fenomena ENSO berlangsung, hujan pada sebagian besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, kejadian fenomena El-nino terkuat terjadi pada tahun 1982/1983, 1986/1987, 1991/1995, dan 1997/1998 (Koesmaryono, 2000).
Berdasarkan kajian menunjukkan bahwa besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam antar wilayah. Menurut Tjasyono (1997) pengaruh El-nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistim moonson, lemah pada daerah dengan sistem equatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal. Selain itu, pengaruh El-Nino lebih kuat terhadap hujan pada musim kemarau daripada hujan pada musim hujan. Berbeda dengan tahun El Nino, tahun La-Nina seringkali dicirikan oleh meningkatnya curah hujan di Indonesia. Pengaruhnya juga lebih kuat pada hujan musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruhnya pada peningkatan curah hujan pada musim hujan tidak begitu jelas. Secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El-Nino dapat mencapai 80 mm per bulan sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm.

Dampak Perubahan Iklim Bagi Pertanian
Pertama, perubahan iklim akan berdampak pada pergeseran musim, yakni semakin singkatnya musim hujan namun dengan curah hujan yang lebih besar. Sehingga, pola tanam juga akan mengalami pergeseran. Disamping itu kerusakan pertanaman terjadi karena intensitas curah hujan yang tinggi yang berdampak pada banjir dan tanah longsor serta angin.
Selain itu, berdasarkan tipe fotosintesis, tumbuhan dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu C3, C4, dan CAM (crassulacean acid metabolism). Tumbuhan C4 dan CAM lebih adaptif di daerah panas dan kering dibandingkan dengan tumbuhan C3. Namun tanaman C3 lebih adaptif pada kondisi kandungan CO2 atmosfer tinggi. Sebagian besar tanaman pertanian, seperti padi, gandum, kentang, kedelai, kacang-kacangan, dan kapas merupakan tanaman dari kelompok C3. Tanaman pangan yang tumbuh di daerah tropis, terutama gandum, akan mengalami penurunan hasil yang nyata dengan adanya kenaikan sedikit suhu karena saat ini gandum dibudidayakan pada kondisi suhu toleransi maksimum.
Kedua, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme pengganggu tanaman. Perkembangan hama dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban udara relatif dan fotoperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus hidup, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga (Wiyono, 2007). Berbagai fakta menunjukkan bahwa El-Nino dan La-Nina dapat menstimulasi perkembangan hama dan penyakit tanaman, seperti penggerek batang dan wereng coklat di Jawa Barat dan Jawa Tengah, belalang di Lampung pada MH 1998 dan penyakit tungro di Jawa Tengah, NTB, dan Sulawesi Selatan. Terjadinya anomali musim, yakni masih adanya hujan di musim kemarau juga dapat menstimulasi serangan OPT. Waktu tanam yang tidak serempak dan kondisi cuaca yang tidak menentu juga dapat menjadi pemicu serangan OPT. Pengaruh kejadian iklim ekstrim sering kali menstimulasi ledakan (outbreak) beberapa hama dan penyakit utama tanaman padi, seperti tikus, penggerek batang, wereng coklat dan tungro. Kejadian El-Nino pada tahun 1997 yang diiringi La-Nina tahun 1998 berdampak pada ledakan serangan hama wereng di beberapa provinsi di Indonesia, terutama di Jawa Barat. Suhu udara dan kelembaban yang meningkat menyebabkan OPT mudah berkembangbiak. Pada kondisi iklim ekstrim La-Nina, peningkatan kelembabam udara sangat signifikan yang menstimulasi ledakan serangan OPT.
Menurut Wiyono pengaruh iklim terhadap perkembangan hama dan penyakit tanaman dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu :
- Eskalasi.
Pada kondisi ini hama dan penyakit yang sebelumnya penting menjadi makin merusak, atau tingkat kerusakannya menjadi lebih besar. Contoh dari kasus ini adalah, makin meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thrips sp. pada tanaman cabai. Pada tahun kemarau 2006, Thrips menimbulkan kerugian yang besar pada usaha tani cabai di Tegal dan Brebes. Dan pada tahun 2007, berdasarkan Laporan Safari Gotong Royong Nastari-Klinik Tanaman IPB serangan Thrips sp. semakin berat pada berbagai daerah pertanaman cabai seperti Brebes, Tegal, Pati, Klaten, Magelang dan Wonogiri. Thrips berkembang pada musim kemarau, dan akan lebih berkembang bila kemaraunya makin kering dan suhu rata-rata makin panas. Contoh lain yaitu serangan penyakit antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. yang semakin berat pada tahun-tahun terakhir ini. Cendawan ini berkembang pada musim hujan dan suhu yang hangat.
- Peningkatan Status.
Pada tipe ini, hama dan penyakit yang sebelumnya dianggap hama atau penyakit minor, berubah menjadi hama atau penyakit penting. Contoh dari tipe perubahan ini adalah, penggerek padi merah jambu (Sesamia inferens). Sebelumnya hama ini dinyatakan sebagai hama yang tidak terlalu penting bila dibandingkan dengan hama penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas), dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga innnotata).
Berdasarkan pengamatan pada bulan April-Mei 2007 di sejumlah tempat di Jawa yaitu Indramayu, Magelang, Semarang, Boyolali, Kulonprogo, dan Ciamis, menunjukkan bahwa dominansi penggerek merah jambu dalam komunitas penggerek meningkat (Nastari dan Klinik Tanaman IPB, 2007). Kalshoven menyatakan bahwa penggerek merah jambu banyak berkembang di daerah-daerah kering yang mempunyai iklim kemarau yang jelas. Di sisi lain, Departemen pertanian (2007) menyatakan bahwa pada musim hujan 2007 Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai daerah kekeringan terluas dan melebihi rata-rata 5 tahun terakhir).
Virus gemini merupakan contoh yang fenomenal. Lima tahun yang lalu virus ini tidak merupakan penyakit yang penting, tetapi sekarang ini menjadi penyakit cabai yang paling penting. Hampir disemua daerah pertanaman cabai dan tomat di Pulau Jawa seperti Bogor, Cianjur, Brebes, Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, Blitar, dan Tulungagung.2 Penyakit ini menimbulkan daun menjadi menguning (yellowing), dan gejala lebih jelas pada daun muda. Epidemi dari penyakit ini salah satunya ditentukan oleh dinamika populasi serangga vektor yaitu kutu kebul Bemisia tabaci. Hingga saat ini belum ada penelitian yang mendalam untuk meneliti faktor penyebab ledakan penyakit virus gemini ini. Tetapi data biologi populasi B. tabaci menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik dipengaruhi oleh suhu. Laju pertumbuhan intrinsik B. tabaci pada tomat meningkat dengan meningkatnya suhu uji yaitu 0.0450 (pada 17 °C) menjadi 0.123 ( 30 °C).
- Degradasi.
Penyakit hawar daun tomat yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans, sebelumnya dinyatakan sebagai penyakit tomat terpenting di dataran tinggi. Penyakit ini lebih berkembang pada kondisi yang sejuk yaitu suhu 18-22 º C dan lembab. Berdasarkan laporan dari Yayasan Nastari dan Klinik Tanaman-IPB, pada bulan April-Mei 2007 dimana di Jawa sedang musim hujan, penyakit ini jarang sekali ditemukan pada tanaman tomat di dataran tinggi.
Patogen yang ditularkan melalui vektor perlu mendapat perhatian penting, kerusakan tanaman akan menjadi berlipat ganda akibat patogen dan serangga vektornya (Ghini 2005, Garrett et al. 2006). Peningkatan suhu udara merangsang terjadinya ledakan serangga vektor. Oleh karenanya penyebaran dan intensitas penyakit diduga akan meledak. Indonesia memiliki beberapa penyakit penting yang ditularkan oleh vektor seperti virus kerdil pada padi, CVPD pada jeruk, dan yang lainnya. Selain mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas vektor, peningkatan suhu juga mendorong aktivitas patogen tertentu. Patogen yang memiliki adaptabilitas pada suhu yang cukup luas akan mudah beradaptasi dengan peningkatan suhu udara.
Dari contoh-contoh tersebut, iklim berpengaruh terhadap hama dan penyakit tanaman melalui dua hal, yaitu (i) faktor iklim mempengaruhi perkembangan hidup hama dan penyebab penyakit (bakteri, cendawan, virus, dsb), dan (ii) faktor iklim mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit tanaman. Dengan adanya berbagai contoh masalah hama dan penyakit tanaman yang sering timbul, maka terdapat indikasi kuat adanya kaitan antara pemanasan global dan perubahan iklim dengan masalah hama dan penyakit tanaman di Indonesia. Namun demikian untuk pemahaman masalah secara komprehensif perlu dilakukan kajian yang khusus dampak iklim terhadap perubahan hama dan penyakit sehingga dapat dirumuskan langkah antisipasi yang tepat baik oleh pemerintah, maupun masyarakat.
Ketiga, menurunnya kesejahteraan ekonomi petani. Dua hal diatas jelas merugikan petani dan sektor pertanian karena akan semakin menyusutkan dan menurunkan hasil pertanian yang berefek pada menurunnya pendapatan petani. Sebab perekonomian petani bergantung pada keberhasilan panen, jika terjadi kegagalan maka petani akan merugi.

Upaya Untuk Mengantisipasi Dampak Penyimpangan Iklim Bagi Sektor Pertanian.
Berbagai upaya untuk mengantisipasi dampak penyimpangan iklim terhadap bencana banjir dan kekeringan pada sektor pertanian telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Secara umum upaya antisipasi dikelompokkan menjadi antisipasi secara teknis dan antisipasi sosial-kelembagaan.
Antisipasi secara teknis antara lain:
1. Pembuatan waduk untuk menampung air hujan, sehingga tidak terjadi banjir dan memanfaatkannya untuk irigasi atau lainnya pada saat kekurangan air (kekeringan).
2. Pembuatan embung mulai dari hulu hingga hilir. Embung ini dapat dimanfaatkan untuk:
• mengurangi dan atau meniadakan aliran permukaan (run off);
• meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga meningkatkan cadangan air tanah, kandungan air tanah disekitar embung tetap tinggi dan untuk daerah dekat pantai dapat digunakan untuk menekan intrusi air laut;
• mencegah erosi;
• menampung sedimen dan sedimen tersebut mudah diangkut karena ukuran embung yang relatif kecil;
• sebagian air embung dapat digunakan sebagai cadangan pada musim kemarau.
3. Memanfaatkan informasi dan prakiraan iklim untuk memberikan peringatan dini dan rekomendasi pada masyarakat.
4. Mempelajari sifat-sifat iklim dan memanfaatkan hasilnya untuk menyesuaikan pola tanam agar terhindar dari puso.
5. Meningkatkan sistem pengamatan cuaca sehingga antisipasi penyimpangan iklim dapat diketahui lebih awal.
6. Memetakan daerah rawan bencana alam banjir dan kekeringan untuk penyusunan pola tanam dan memilih jenis tanaman yang sesuai.
7. Memilih tanaman yang sesuai dengan pola hujan dan tahan hama, misal: menggunakan tanaman atau varietas yang tahan genangan, tahan kering, umur pendek dan persemaian kering; kombinasi tanaman, sehingga kalau sebagian tanaman mengalami puso, yang lainnya tetap bertahan dan memberikan hasil. Beberapa contoh varietas padi yang mampuberadaptasi dalam iklim kekeringan adalah padi (Dodokan dan Silugonggo), jagung(Bima 3, Bantimurung, Lamuru, Sukmaraga, Anoma), Kedelai (Argomulyo danBurangrang), Kacang Tanah (Singa dan Jerapah), serta kedelai (Kutilang). Varietas padi yang mampu beradaptasi terhadapcekaman salinitas tinggi diantaranya adalah Way Apo Buru, Margasari dan Lambur. Sementara varietas padi yang mampu beradaptasi dengan banjir adalah padi GHTR1.
8. Melakukan sistem pertanian konservasi seperti terasering, menanam tanaman penutup tanah, melakukan pergiliran tanaman dan penghijauan DAS (Daerah Aliran Sungai).
9. Pompanisasi dengan memanfaatkan air tanah, air permukaan, air bendungan atau checkdam, dan air daur ulang dari saluran pembuangan.
10. Efisiensi penggunaan air seperti gilir iring dan irigasi hemat air.
• perbaikan dan pemeliharaan jaringan pengairan di tingkat usaha tani;
• memberi bantuan penanggulangan seperti : benih, pompa air, dll;
• upaya-upaya khusus lain seperti gerakan percepatan tanam dan pengolahan tanah.
Upaya-upaya antisipasi sosial - kelembagaan meliputi :
1. Meningkatkan kesiapan dan peran serta masyarakat dalam upaya antisipatif bencana alam banjir sehingga mereka beranggapan bahwa upaya itu adalah untuk kepentingan mereka dan dilaksanakan secara bersama-sama dalam koordinasi yang baik dengan pihak lain.
2. Memanfaatkan kemampuan dan peran serta kelembagaan masyarakat petani, instansi pemerintah maupun swasta dalam pemakaian teknologi perkreditan persediaan saran produksi, penyediaan peralatan dan mesin, peitaman serta pengolahan dan pemasaran hasil.
3. Dibanyak negara berkembang, telah banyak diberlakukan indeks iklim untuk asuransi pertanian. Asuransi pertaanian adalah produk asuransi pertanian berbasis indeks iklim ini dikenal dengan Climate Indexed Insurance. Sistem ini memberikan pembayaran padapemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca atau iklim yang tidak diharapkan (indeksiklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Sistem ini sudah dikembangkan di berbagai negara khususnya di Afrika, Indiadan Filipina. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan.

Dampak Perubahan Iklim Bagi Kelautan
Perubahan iklim juga berdampak buruk pada sumber daya terumbu karang, mangrove dan ikan yang menjadi sumber kehidupan jutaan manusia. Baru-baru ini dilaporkan, dampak pemanasan global menyebabkan beberapa spesies alga pada terumbu karang mati dan dimakan ikan-ikan kecil. Ikan kecil kemudian dimakan ikan lebih besar, alu-alu atau barakuda. Ketika manusia mengonsumsi ikan barakuda yang terkontaminasi racun ciquatera, terjadilah peristiwa keracunan yang dapat berakibat fatal. Ini baru satu contoh kecil dampak pemanasan global.
Peningkatan temperatur air laut khususnya saat El Niño 1997 telah menyebabkan masalah serius pada ekosistem terumbu karang. Wetlands International (Burke et al., 2002) melaporkan bahwa El Niño pada tahun tersebut telah menghancurkan sekitar 18% ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara. Pemutihan terumbu karang (coral bleaching) telah terjadi di banyak tempat seperti bagian Timur Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok. Di Kepulauan Seribu sekitar 90-95% terumbu karang yang berada di kedalaman 25 m sebagian telah mengalami pemutihan.
Pemutihan karang menyebabkan punahnya berbagai jenis ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi (contohnya, ikan kerapu macan, kerapu sunu, napoleon dan lainlain) karena tak ada lagi terumbu karang yang layak untuk dihuni dan berfungsi sebagai
sumber makanan. Padahal Indonesia mempunyai lebih dari 1.650 jenis ikan karang,
itupun hanya yang terdapat di wilayah Indonesia bagian timur saja belum terhitung
yang berada wilayah lainnya. Akibat lebih jauh adalah terjadinya perubahan komposisi ikan di laut Indonesia. Ikan yang tak tergantung pada terumbu karang akan tumbuh dengan suburnya. Contohnya, ikan belanak, bandeng, tenggiri dan teri, padahal ikan tersebut mempunyai nilai ekonomis yang lebih rendah daripada jenis ikan karang.
Tak hanya itu, memanasnya air laut akan mengganggu kehidupan jenis ikan tertentu yang sensitif terhadap naiknya suhu. Ini mengakibatkan terjadinya migrasi ikan ke
daerah yang lebih dingin. Akhirnya, Indonesia akan kehilangan beberapa jenis
ikan. Akibatnya, nelayan lokal akan makin terpuruk karena menurunnya hasil tangkapan ikan.
Laporan terbaru dari Cheung, dkk (2009) di jurnal Global Change Biology menyebutkan, dari skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 ppm (parts per million) pada tahun 2100, maka Indonesia berpotensi kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi pada level sekarang, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan. Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan- ikan dari perairan tropis ke subtropis sehingga negara-negara lain akan mengalami surplus tangkapan ikan. Selain itu, migrasi ikan yang semakin jauh juga akan berimplikasi kepada biaya penangkapan ikan yang semakin mahal. Di sisi lain, kita menghadapi banyak permasalahan kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Padahal, wilayah pesisir ini adalah daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, dan banyak lagi fungsi ekologis lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.
Data Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu hanya dua tahun, yaitu 2005–2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil di Nusantara. Lokasi ke-24 pulau yang tenggelam tersebut adalah sebagai berikut: tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut diakibatkan oleh erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak pada tenggelamnya tiga pulau kecil setempat. Kehilangan pulau-pulau kecil ini terutama yang berada di daerah perbatasan dengan negara lain akan berdampak hukum yang merugikan Indonesia. Karena dengan kehilangan pulau-pulau tersebut (yang semula jadi penentu tapal batas Indonesia dengan negara tetangga) wilayah perairan Indonesia akan berkurang. Hal ini perlu diantisipasi mengingat kemungkinan di wilayah tersebut terdapat sumber mineral.
Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir.
Adapun daerah-daerah pesisir yang termasuk rawan akan dampak kenaikan muka air laut antara lain sebagai berikut:
a. Pantai utara Jawa, termasuk kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Antara tahun 1925 -1989, kenaikan permukaan air laut telah terjadi di
Jakarta (4,38 mm/tahun), Semarang (9,27 mm/tahun) dan Surabaya (5,47
mm/tahun).
b. Pantai timur Sumatera.
c. Pantai selatan, timur dan barat Kalimantan.
d. Pantai barat Sulawesi.
e. Daerah rawa di Irian Jaya yang terletak di pantai barat dan selatan.
Di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), akan terjadi perbedaan tingkat air pasang dan surut
yang makin tajam. Akibatnya, kekerapan terjadinya banjir atau kekeringan akan
semakin terasa. Hal ini akan semakin parah apabila daya tampung sungai dan waduk
tidak terpelihara akibat erosi dan sedimentasi.

Upaya Adaptasi Untuk Menghadapi Perubahan Iklim
Upaya adaptasi harus dilakukan melalui beberapa pendekatan :
1. Mengintegrasikan agenda adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang;
2. Meninjau kembali dan menyesuaikan inisiatif atau program yang ada sehingga menjadi tahan (resilience) terhadap perubahan iklim;
3. Melembagakan pemanfaatan informasi iklim sehingga mampu mengelola risiko iklim;
4. Mendorong daerah otonom untuk mengintegrasikan pertimbangan risiko iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah;
5. Memperkuat informasi dan pengetahuan untuk mengurangi risiko iklim sekarang dan masa yang akan datang;
6. Memastikan tersedianya sumber daya dan pendanaan yang berasal dari dalam negeri untuk kegiatan adaptasi serta memanfaatkan semaksimal mungkin bantuan pendanaan internasional;
7. Memilih opsi no-regrets (tanpa penyesalan), yakni mengambil tindakan adaptasi, meski misalnya perubahan iklim tidak terjadi, sehingga manfaat yang diperoleh selain dapat mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim sekaligus mendatangkan manfaat bagi pembangunan nasional;
8. Mendorong terbentuknya dialog nasional sehingga dapat mempercepat proses pengimplementasian agenda adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

Agenda adaptasi perubahan iklim harus difokuskan pada area yang rentan terhadap perubahan iklim, yakni : sumber daya air, pertanian, perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan pemukiman, kesehatan, dan kehutanan. Untuk mencapai pembangungan yang tahan terhadap risiko iklim, untuk masing-masing area fokus perlu diketahui :
1. Tujuan agenda perubahan iklim yang ingin dicapai terkait erat dengan tujuan pembangunan nasional, yang dapat juga diselaraskan dengan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia;
2. Kondisi yang ada pada masing-masing area fokus saat ini baik biofisik, program dan inisiatif yang ada serta institusi yang bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim;
3. Perubahan kunci yang diperlukan pada program, investasi atau rencana yang sudah ada;
4. Investasi dan kegiatan tambahan atau baru yang diperlukan.

Agenda adaptasi dalam strategi pembangunan untuk menghadapi anomali iklim atau variabilitas iklim saat ini, antara lain dengan cara :
1. Program pengurangan risiko bencana terkait iklim melalui program penghutanan kembali, penghijauan terutama di kawasan hutan/lahan yang kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir) dengan keterlibatan masyarakat;
2. Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan iklim dan informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat terutama untuk masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiap-siagaan dini dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin meningkat;
3. Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan dampaknya serta upaya pengendaliannya serta mengembangkan model proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah, dan panjang untuk skala lokal atau regional yang diperlukan untuk menilai kerentanan dan dampak iklim serta menyusun rencana dan strategi kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim untuk jangka pendek, menengah dan panjang;
4. Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti yang secara langsung maupun tidak langsung akan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Kegiatan ini dilanjutkan dengan mengidentifikasi penyesuaian apa yang harus dilakukan terhadap program-program yang didesain dengan mempertimbangkan arah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut serta perubahan kondisi sosial-ekonomi untuk mendapatkan kebijakan dan program yang lebih tahan terhadap perubahan iklim;
5. Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim dengan pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan, perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan pembagian kawasan air tanah untuk institusi pengelolaan air;
6. Pengutamaan adaptasi perubahan iklim kedalam kebijakan dan program di berbagai sektor (dengan fokus pada penanggulangan bencana, pengelolaan sumber daya air, pertanian, kesehatan dan industri);
7. Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi;
8. Pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim dan hidrologi khususnya di luar Jawa dan peningkatan kapasitas BMG dalam membuat ramalan cuaca dan iklim yang lebih akurat mencakup seluruh Indonesia;
9. Pengembangan sistem infrastruktur dan tata ruang serta sektor-sektor yang tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim, dan pengembangan serta penataan kembali tata ruang wilayah, khususnya pada kawasan pantai.

Agenda adaptasi tersebut dapat dielaborasikan dalam berbagai program atau kegiatan adaptasi yang dapat dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah. Berbagai kegiatan telah dicanangkan, seperti gerakan menanam pohon dalam wadah Gerakan Indonesia Menanam, yang telah dimulai beberapa tahun lalu dan telah dilakukan secara masal pada akhir 2007 saat menjelang Konferensi Perubahan Iklim Bali. Keterlibatan perempuan Indonesia juga terlihat melalui Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Sepuluh Juta Pohon juga dilaksanakan pada saat itu. Gerakan semacam ini bukan hanya untuk menghijaukan kembali lahan kritis tetapi juga turut serta dalam meminimalkan dampak pemanasan global, membantu menjaga ketersediaan air (penyerapan air hujan yang berlebihan) dan mengurangi polusi udara lokal.
Di era otonomi daerah, Pemerintah Daerah diharapkan dapat menyelaraskan pembangunan di daerahnya dengan kepentingan pelestarian lingkungan hidup. Dengan cara itu, eksploitasi sumber daya alam dapat dikendalikan dengan baik. Para Kepala Daerah juga perlu mengembangkan lembaga lingkungan yang mampu mengkoordinasikan dan mensinergiskan aktivitas para pelaku pembangunan, baik oleh Pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat. Kita perlu selalu mengingat bahwa sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi international tentang perubahan iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Ikim), Indonesia telah menjadi salah satu negara yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap lingkungan hidup, untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Sekarang, sudah saatnya kita memikirkan dan mencari terobosan-terobosan, bukan hanya pada sumber penyebab (mitigasi) terjadinya perubahan iklim, tetapi juga penanggulangan dan tindakan apa yang harus kita persiapkan (adaptasi) jika perubahan iklim itu terjadi. Persiapan itu memerlukan penelitian yang seksama, sejak dari daerah yang rentan, identifikasi organisme yang mungkin akan punah, hingga mencari teknologi yang tepat untuk menghadapi terjadinya perubahan iklim. Prinsip proaktif memegang peranan sentral dalam upaya memperkecil dampak yang akan terjadi.

Mengingat rumit dan keterkaitannya yang erat dengan sektor-sektor maka untuk mewujudkan harapan tersebut, ada beberapa syarat/langkah yang perlu dilalui:
• Tingkat kesadaran dan pemahaman para pengambil keputusan yang telah berwujud pada tindakan;
• Keinginan politis untuk turut serta dalam upaya global dalam memerangi perubahan iklim;
• Koordinasi kebijakan multi-sektor di antara para pemangku kepentingan untuk mengatasi perubahan iklim dalam kerangka kerja pembangunan nasional.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sapaan dalam Bahasa Banjar

Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)

Bahasa Banjar