Wajah Pendidikan Indonesia : Menyontek, Antara Sebuah Budaya Dan Tuntutan Lingkungan

Terdapat beberapa batasan pengertian pendidikan menurut fungsinya, diantaranya adalah:
• Pendidikan sebagai proses transformasi budaya
Disini pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda.
• Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi
Pada batasan ini, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Disebut sistematis karena proses pendidikan berlangsung melalui tahap-tahap yang berkesinambungan (prosedural). Disebut sistemik karena berlangsung dalam semua kondisi, di semua lingkungan yang saling mengisi (lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat).
• Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara
Pendidikan disini diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. Contohnya dengan menanamkan sikap cinta tanah air, cinta produk dalam negeri, dan perilaku sadar hukum kepada peserta didik sejak dini, dengan harapan nantinya peserta didik tersebut dapat menjadi seorang warga negara yang baik.
• Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga kerja
Batasan ini mengartikan pendidikan sebagai sebuah kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja. Bekal dasar disini dapat berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada peserta didik.
Dari batasan-batasan pendidikan di atas, terlihat betapa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa. Pendidikan memuat tujuan berupa gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Indonesia sendiri menempatkan pendidikan sebagai salah satu tujuan nasionalnya. Seperti yang terdapat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “.........melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.......”. Sungguh, betapa luhurnya cita-cita bangsa ini.
Sayangnya, wajah pendidikan di Indonesia tidak mulus. Beberapa jerawat tumbuh di atasnya. Berbagai masalah bermunculan, ada yang berat, ada yang ringan, ada yang di tingkat pusat, ada yang di tingkat daerah, ada yang terselesaikan, ada pula yang tidak.

Salah satu masalah yang ikut mewarnai dunia pendidikan adalah kegiatan “menyontek”. Menyontek seolah tak lekang oleh waktu, dari dulu hingga saat ini. Pelakunya bukan hanya peserta didik, semua orang tanpa memandang batasan usia, profesi, dan jabatan juga dapat melakukannya (dalam bentuk, intensitas, dan kapasitasnya msing-masing). Bahkan seorang pendidik pun terkadang melakukan kegiatan ini. Menyontek seolah-olah telah menjadi salah satu budaya dalam dunia pendidikan Indonesia.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kegiatan menyontek, ada baiknya kita mengetahui arti dari istilah ini. Menyontek berasal dari kata dasar “sontek” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga memiliki makna sebagai berikut :
1)son.tek/sonte`k/ (v).
me.nyon.tek (v) menggocoh (dengan sentuhan ringan); mencungkil (bola, dsb) dengan ujung kaki: untunglah penjaga gawang itu dapat ~ bola sehingga selamat;
son.tek.an (n) hasil menyontek.
2)son.tek/sonte`k/ (v).
me.nyon.tek (v) mengutip (tulisan, dsb) sebagaimana aslinya; menjiplak; karena malas belajar, setiap ujian ia selalu ~.
son.tek.an (n) hasil menyontek: bahan (tulisan) yang disontek,

Jadi, menurut saya menyontek atau menjiplak dapat diartikan sebagai perbuatan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan jalan yang tidak sah. Walaupun dalam hal ini kata “keberhasilan” dan “sah” masih dapat diperdebatkan. Dalam kasus ini saya hanya mengambil logika secara umum dalam masyarakat kita.

Menyontek dapat dikategorikan dalam dua bagian, yaitu : menyontek dengan usaha sendiri, dan menyontek dengan cara kerjasama. Usaha sendiri disini adalah dengan membuat catatan sendiri, memanfaatkan kecanggihan tekhnologi (handphone), buka buku, atau dengan menggunakan alat bantu lain seperti membuat coretan-coretan di kertas kecil yang disembunyikan di tempat-tempat tertentu, rumus di tangan, atau dapat juga dengan mencuri jawaban teman. Cara kerjasama dengan teman adalah dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dan membuat kode-kode tertentu atau meminta jawaban kepada teman.

Menyontek sungguh bukan sesuatu yang asing bagi peserta didik. Kegiatan ini secara lumrah ditemui di berbagai tingkatan sekolah mulai dari SD, SMP, SMA sampai di bangku kuliah. Jadi, seakan-akan menyontek telah menjadi budaya di kalangan pelajar.
Tapi apakah benar menyontek adalah sebuah budaya? Ataukah itu hanyalah sebuah sikap yang muncul akibat tuntutan lingkungan? Disinilah saya akan membahas masalah tersebut.
Kenapa harus menyontek? Apakah karena malas? Apakah karena tidak percaya diri? Berikut beberapa alasan menyontek yang berhasil saya kumpulkan dari pengalaman dan pengamatan saya selama menjadi peserta didik :

Alasan pertama adalah karena terpengaruh setelah melihat orang lain melakukan kegiatan “menyontek”, meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya. Hal ini muncul setelah seorang peserta didik melihat dan membandingkan. Apa yang dilihat? Apa yang dibandingkan? Jawabannya adalah nilai. Telah dipaahami bersama bahwa orientasi belajar peserta didik di Indonesia hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, kemampuan kognitif lebih bernilai daripada kemampuan afektif dan psikomotor. Hal inilah yang membuat peserta didik (atau bahkan pendidik) mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek. Karena pada kenyataannya di Indonesia, kejujuran dalam ujian seolah tak ada harganya. Berdasarkan pengalaman saya, sebagian besar orang yang menyontek akan mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, sedangkan sebagian besar orang yang berbuat jujur justru mendapatkan nilai rendah dan bahkan terkadang tidak lulus ujian. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak peserta didik terpengaruh untuk melakukan kegiatan menyontek. Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Jadi, disini kesalahan arah orientasi pendidikan Indonesia yang melatar belakangi munculnya kegiatan menyontek. Padahal seperti telah dibahas sebelumnya, salah satu tujuan nasional NKRI adalah “......mencerdaskan kehidupan bangsa.......”. Orang yang cerdas tidak harus memiliki nilai ujian tinggi, memiliki IPK tinggi. Akan tetapi orang yang cerdas adalah orang yang cepat tanggap menghadapi masalah, mampu menghadapi kehidupan, mampu menghargai dan memahami lingkungan, serta mampu berpikir positif.

Alasan kedua adalah terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu sulit dan membuku (buku sentris) memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks serta penugasan guru/dosen yang tidak rasional mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara. Menurut pendapat saya, menghapal buku teks, adalah skill yang paling tidak penting bagi manusia. Isi sebuah buku bukan untuk dihapal, tapi untuk dipahami. Jadi, jika seorang pendidik mengharuskan peserta didiknya untuk menghapal, berarti mereka mendidik manusia hanya untuk menjadi robot; tidak ada inisiatif, dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir kritis, dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. Alasan ini saya temukan ketika menginjak bangku kuliah. Ada seorang dosen yang memiliki soal-soal ujian yang sungguh luar biasa menurut saya. Jawaban dari soal-soal beliau itu selalu ada di dalam buku maupun diktat mata kuliah. Akan tetapi sangat jarang ada mahasiswa yang mampu menyelesaikan seluruh soal yang beliau berikan dalam batas waktu yang telah ditentukan. Mengapa? Karena walaupun soal ujian dari beliau hanya 5 buah uraian (dengan beberapa anak soal :-D), tetapi di dalamnya terdapat “kata kunci” yang sangat luar biasa, yaitu “Sebutkan, jelaskan, dan gambarkan.................”. Hal inilah yang memaksa mahasiswa melakukan kegiatan menyontek dengan cara membuka buku, membuka diktat, bertanya pada profesor Google melalui handphone, memanjangkan leher ke kiri ke kanan ke depan dan ke belakang. Pendidik yang seperti ini secara tidak langsung justru “menjerumuskan” siswanya ke dalam kegiatan menyontek. Solusinya bagaimana? Menurut saya, ujian dengan sistem open book mungkin dapat mengurangi bentuk kegiatan menyontek yang telah disebutkan. Soal yang diberikan jangan soal yang jawabannya jelas ada di buku, tetapi berikanlah soal yang memaksa peserta didik berpikir dengan acuan teori yang ada di dalam buku. Dengan begitu peserta didik dapat berpikir lebih kritis, bukan seperti robot yang selalu didikte.

Alasan ketiga yaitu takut gagal, tidak percaya diri, dan terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali. Ketiga hal tersebut adalah keadaan yang sering dialami peserda didik dalam ujian. Rasa malu ketika tidak lulus ujian, rasa khawatir yang berlebihan hingga menyebabkan munculnya rasa tidak percaya diri, rasa gugup yang tidak dapat dikuasai hingga menyebabkan otak tidak berpikir secara normal. Itu adalah hal-hal lumrah yang sering diderita peserta didik. Penyebabnya berkaitan dengan alasan pertama, yaitu lagi-lagi karena arah orientasi pendidikan Indonesia yang salah. Orientasi pendidikan yang seolah-olah “mendewakan” nilai akhir (aspek kognitif), tanpa melihat proses (aspek afektif dan psikomotor) secara jelas.

Alasan keempat adalah yakin bahwa dosen/guru tidak akan memeriksa tugas yang diberikan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Pelaku yang beralasan seperti ini kebanyakan adalah mahasiswa. Karena tahu dosennya sibuk dan mungkin tidak sempat memeriksa pekerjaan mahasiswa, mereka cenderung melakukan kegiatan menyontek. Misalnya copas (copy-paste) tugas teman, tinggal mengganti sampul dan nama, isi atau jawaban tugas sama dengan teman. Disini pendidik yang mempunyai peran penting untuk mengurangi dan mencegah kegiatan menyontek. Memperketat pengawasan dan menyempatkan memeriksa tugas peserta didik secara teliti adalah alternatif solusinya.

Alasan kelima adalah ingin membahagiakan orang lain. Orang lain disini yaitu keluarga, khususnya orang tua. Ada peserta didik yang menginginkan pihak lain atau orang tuanya tersenyum bahagia melihat anaknya berprestasi, yang digambarkan dengan perolehan angka-angka fantastis dalam nilai rapornya. Orang tua terkadang menggunakan nilai raport anak untuk meningkatkan gengsinya di mata para tetangga. Kebetulan saya berasal dari sebuah desa, di tempat asal saya terkadang nilai raport dan predikat juara kelas akan sangat mempengaruhi kedudukan sebuah keluarga di mata masyarakat. Keluarga tersebut pada waktu tertentu (biasanya setelah pembagian raport) akan menjadi topik pembicaraan hangat, baik di warung, pos ronda, pangkalan ojek, bahkan di acara-acara seperti resepsi pernikahan. Disinilah orang tua terkadang sangat menginginkan anaknya mendapatkan nilai yang bagus dan mendapatkan predikat juara kelas. Nilai merah di raport dan tinggal kelas dianggap sebagai sebuah aib bagi keluarga. Banyak orang tua yang mengiming-imingi anaknya dengan berbagai hadiah jika berhasil mendapatkan predikat juara kelas. Sebenarnya iming-iming tersebut dapat menjadi motivasi positif bagi seorang anak, akan tetapi dapat pula menjadi beban berat bagi anak. Anak yang merasa terbebani akan menghalalkan segala cara untuk mencapai nilai akhir seperti yang diinginkan orang tuanya, salah satunya dengan cara menyontek. Disini kembali terlihat bahwa kesalahan orientasi pendidikan Indonesia yang menekankan pada perolehan nilai kognitif telah tertanam terlalu dalam pada jiwa masyarakat.

Dicermati dari berbagai kenyataan yang terjadi dan berdasarkan pengalaman saya sendiri sebagi seorang peserta didik, kegiatan menyontek adalah sesuatu yang sulit untuk dihilangkan dan dihindari. Dari paparan di atas dan kenyataan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa sistem evaluasi pendidikan yang saat ini diterapakan tidak memberikan celah sedikit pun bagi peserta didik untuk membuktikan dirinya sebagai “seseorang” dengan cara lain selain mendapatkan nilai yang baik. Dalam sosiologi, salah satu motif seseorang melakukan interaksi adalah untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Oleh karena itu banyak peserta didik yang berusaha keras mendapatkan nilai yang bagus agar mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Disini terlihat bahwa adanya tuntutan lingkungan menyebabkan munculnya kegiatan menyontek.

Menyontek sendiri merupakan sebuah kegiatan hasil cipta karya manusia, sehingga tentunya dapat digolongkan menjadi sebuah budaya.

Kesalahan orientasi pendidikan Indonesia yang mulai mendarah daging menjadi salah satu faktor utama penyebab tumbuh dan berkembangnya kegiatan menyontek. Solusinya adalah kita sebagi generasi penerus bangsa sudah sepantasnya berusaha mengarahkan orientasi pendidikan ke arah yang sebenarnya. Yaitu orientasi pendidikan yang sesuai dengan tujuan nasional bangsa ini, “...........mencerdaskan kehidupan bangsa............”.

Jadi orientasi pendidikan Indonesia tidak lagi hanya mementingkan nilai dari aspek kognitif, akan tetapi juga mementingkan nilai dari aspek psikomotorik dan aspek afektif. Dimana ketiganya dilibatkan secara seimbang dalam penilaian pendidikan. Diharapkan pendidikan tidak hanya terfokus pada hasil akhir, tetapi juga terfokus pada proses menemukan dan mencari hasil akhir tersebut. Jika hal ini diterapkan dengan baik, niscaya generasi muda Indonesia akan menjadi manusia dengan potensi IQ, EQ dan SQ yang luar biasa serta mampu bersaing dengan negara-negara lain.

Kita, generasi penerus bangsa inilah yang harus berjuang demi masa depan yang lebih baik, ingat sebuah pesan yang disampaikan Bung Karno, “berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Pahami juga pesan beliau yang lain, “apakah kelemahan kita? kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong”. Betapa besar kekuatan seorang pemuda di mata Bung Karno dan percaya diri adalah kunci untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Insya Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sapaan dalam Bahasa Banjar

Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)

Bahasa Banjar