Pengertian Etika Lingkungan

3.1 ETIKA DAN MORAL

(Sumber uraian diambil dari: Keraf, 2002)
Etika berasal dari kata ethos (jamak-ta etha) bahasa Yunani, berarti kebiasaan atau adat istiadat. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup serta tata cara hidup yang baik, pada pribadi seseorang atau kelompok masyarakat. Kebiasaan yang baik tersebut kemudian dibakukan menjadi kaidah, norma, aturan yang dipahami, diajarkan dan disebarluaskan secara lisan dalam masyarakat serta diwariskan dari generasi ke generasi.
Etika merupakan hasil pertimbangan mendalam, menyeluruh, didasari sikap dan pandangan hidup dalam bertindak, mengungkapkan, menjaga dan melestarikan nilai tertentu tentang apa yang dianggap baik dan penting untuk dilakukan dalam kehidupan ini. Karena itu etika juga memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral sebagai pedoman dalam menuntun perilaku serta mengandung berbagai kriteria penilaian moral tentang apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak ’baik dan tidak penting’ untuk dilakukan.
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos (jamak-mores) bahasa Latin yang juga berarti adat istiadat atau kebiasaan. Moralitas berkaitan dengan nilai-nilai tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia. Dapat dikatakan moralitas merupakan gagasan-gagasan tentang benar atau salah yang mengatur manusia dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dalam hal ini, baik etika atau moral berbicara tentang nilai dan prinsip moral yang dianut masyarakat tertentu sebagai pedoman dan kriteria dalam berperilaku sebagai manusia. Perbedaannya: etika berkaitan dengan sistem nilai sedangkan moralitas berbicara tentang nilai-nilai dan norma-norma. Norma diartikan sebagai aturan, kaidah perilaku dan tindakan manusia.
Etika merupakan cabang falsafah umum yang mempelajari moralitas dan mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibanding moralitas. Dalam kaitan ini etika dipahami sebagai falsafah moral atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis tentang persoalan benar dan salah secara moral, dan refleksi kritis tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup dan bertindak dalam situasi kongkrit untuk menentukan pilihan, mengambil sikap, dan akhirnya mampu bertindak secara benar.
Refleksi kritis ini bukan saja meliputi norma dan nilai yang bersumber dari etika dan moralitas yang selama ini telah menjadi pedoman hidup, tetapi juga mencakup refleksi kritis dalam menghadapi situasi kongkrit tertentu dengan segala kompleksitas dan kekhususannya. Di samping itu juga meliputi refleksi kritis yang berhubungan dengan berbagai paham yang dianut manusia atau kelompok masyarakat tertentu baik tentang alam, Tuhan, manusia, sistem sosial politik, sistem ekonomi, sistem kerja dan sebagainya. Hal ini penting bagi seseorang atau kelompok masyarakat untuk menentukan pilihan dan prioritas moral dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam keadaan khusus yang dilematis. Dalam pengambilan keputusan menghadapi situasi khusus yang dilematis, tiga aspek tersebut perlu benar-benar dipertimbangkan dengan keyakinan moral bahwa yang akan kita lakukan adalah benar. Pada tingkat ini etika membutuhkan evaluasi kritis atas seluruh situasi terkait. Diperlukan informasi mendalam dan sebanyak mungkin yang terkait dengan kasus yang dihadapi, bagaimana dampaknya, siapa yang terkena dampak, seberapa besar kerugian yang ditimbulkan, serta sikap pro dan kontra. Dalam hal ini etika membutuhkan bantuan berbagai disiplin ilmu agar dapat diambil keputusan moral yang benar, maka ilmu etika dapat dikatakan merupakan ilmu interdisiplin.


3.2 TEORI ETIKA

Terdapat tiga teori etika dengan argumen masing-masing sebagai berikut:
1. Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari bahasa Yunani. Deon berarti kewajiban dan logos berarti ilmu atau teori. Sejalan dengan pengertian tersebut, deontologi sangat menekankan kewajiban manusia untuk berbuat baik, jadi etika deontologi ini sangat menekankan pada motivasi, kemauan yang baik, dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. Suatu perbuatan atau tindakan bukan dinilai dari tujuan dan juga bukan akibat dari tindakan tersebut melainkan dari nilai moral tindakan itu sebagai suatu kewajiban. Sebagai contoh, (a) bila seseorang melakukan tindakan penghematan pemakaian air, bukan dinilai hanya karena biaya pengeluaran rumah tangganya untuk pembayaran air bersih pada PAM akan berkurang, tetapi dinilai baik karena alasan memenuhi kewajiban untuk melestarikan SDA. (b) Tindakan membakar hutan atau lahan, tidak dinilai buruk hanya karena mengakibatkan udara tercemar, rusaknya hutan dan keanekaragaman hayati dan sebagainya, melainkan karena tidak memenuhi kewajiban untuk bersikap ”hormat kepada alam” (respect for nature), dalam hal ini tidak memenuhi kewajiban untuk melestarikan fungsi dan kondisi lahan, hutan serta keanekaragaman hayati.
Ahli filsafat Emmanuel Kant menolak argumen tentang akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai suatu tindakan karena tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak serta menilai suatu keadaan.
2. Etika Teleologi
Istilah teleologi berasal dari bahasa Yunani di mana kata telos berarti tujuan dan logos berarti ilmu atau teori. Etika teleontologi menilai atau mengukur suatu tindakan itu baik atau buruk berdasar tujuan dan hasil atau akibat/dampak suatu tindakan. Etika teleontologi berkaitan dengan bagaimana dalam suatu situasi nyata tertentu tidakan seseorang seharusnya mengacu pada tujuan dan pada pertimbangan dampak tindakannya tersebut. Sebagai contoh seseorang menangkap satwa tertentu, misal burung cendrawasih yang populasinya sudah sangat terbatas dengan tujuan melakukan penelitian bagi kepentingan khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam upaya menunjang pelestarian satwa tersebut. Maka hal ini akan dinilai sebagai tindakan yang baik karena menunjukkan sikap hormat terhadap alam. 
Lain halnya bila tujuan tindakannya untuk kesenangan semata, atau untuk tujuan komersial, tentu akan dinilai sebagai tindakan buruk. Dari perspektif tersebut nampak bahwa etika teleologi bersifat situasional dan subyektif, dalam arti bahwa pada situasi yang berbeda, norma moral tidak berlaku tetap. Dalam hubungan ini dikenal prinsip egoisme dan prinsip utilitarianisme. Tujuan baik suatu tindakan itu baik untuk siapa? Untuk pribadi atau untuk orang banyak? Egoisme etis menilai tindakan yang tujuannya untuk kepentingan pribadi sebagai tindakan yang baik karena secara moral manusia dibenarkan untuk mengejar kebahagiaan bagi diri pribadinya. Ada kecenderungan hedonistis dalam etika ini. 
Tindakan seseorang dinilai baik karena mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Tindakan seseorang dinilai buruk jika ia membiarkan dirinya menderita dan merugi. Pada kenyataannya dapat terjadi pergeseran nilai bila seseorang hanya memperhatikan kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan orang lain dan secara lahiriah menempatkan harkat dirinya pada penguasaan materi semata.
Berbeda dengan prinsip egoisme maka prinsip utilitarianisme menilai tindakan yang tujuannya untuk kepentingan banyak orang sebagai tindakan baik. Etika utilititarianisme dicetuskan Jeremy Bentham (1748-1832), bertolak dari masalah bagaimana menilai suatu kebijakan publik (baik yang berhubungan dengan aspek sosial, politik, legal dan sebagainya, maupun secara moral). Dasar obyektif dilakukannya suatu tindakan hendaknya mempertimbangkan tiga kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria manfaat. Tindakan tertentu dinilai baik bila mendatangkan manfaat, sebaliknya bila tidak mendatangkan manfaat apalagi bila hanya mendatangkan kerugian akan dinilai buruk;
a. Kriteria manfaat terbesar. Tindakan atau kebijakan yang mendatangkan manfaat terbesar akan dinilai lebih baik dari alternatif lain yang manfaatnya lebih kecil. Dalam situasi di mana sebuah alternatif kebijakan atau tindakan hanya mendatangkan kerugian maka yang terbaik adalah memilih tindakan yang tingkat kerugiannya paling kecil;
b. Kriteria manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Suatu tindakan atau kebijakan
dinilai baik bila mendatangkan manfaat terbesar yang berguna bagi banyak orang (the greatest good for the the greatest number)
3. Etika Keutamaan
Etika keutamaan menekankan pada pengembangan karakter moral pada diri seseorang, yaitu tidak mempermasalahkan kewajiban secara moral maupun tujuan dan secara moral akibat dari suatu tindakan atau kebijakan. Aristoteles mengatakan bahwa nilai moral diperoleh dan tumbuh dari pengalaman hidup dalam masyarakat, keteladanan moral tokoh-tokoh besar masyarakat menyikapi suatu permasalahan dalam suatu kehidupan. Dari tokoh-tokoh tersebut orang belajar tentang nilai-nilai keutamaan moral seperti kejujuran, kesetiaan, kesediaan berkorban, ketulusan dan sebagainya.
Etika keutamaan ini, tidak mengutamakan tindakan bermoral tetapi pribadi bermoral, yaitu bagaimana seseorang hidup dengan baik sepanjang kehidupannya (berprinsip dan mempunyai integritas moral). Pada etika keutamaan aspek sejarah, sastra, cerita (termasuk legenda, dongeng dan wayang) merupakan hal penting di mana tokoh-tokohnya adalah merupakan model keteladanan dan keutamaan moral. Dalam situasi nyata yang dilematis etika keutamaan menekankan untuk meneladani sikap dan perilaku tokoh-tokoh dalam menghadapi situasi serupa. Rasionalitas dan kebebasan merupakan hal penting, artinya terbuka kemungkinan setiap orang dapat menafsirkan pesan moral yang khas dari sejarah, cerita dan keteladanan para tokoh. Pada perkembangan selanjutnya dua atau tiga teori tentang etika tersebut (deontologi, teleologi dan keutamaan) dapat dIgabungkan secara bersama-sama.


3.3 TEORI ETIKA LINGKUNGAN

Etika lingkungan adalah sebuah refleksi kritis tentang norma dan nilai atau prinsip moral tentang lingkungan yang selama ini telah dikenal, serta refleksi kritis cara pandang tentang: manusia, alam, hubungan antara manusia dengan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Diharapkan agar refleksi kritis ini dapat menghasilkan cara pandang dan perilaku baru yang dianggap lebih tepat khususnya terkait dengan upaya penyelamatan pada suatu krisis lingkungan.
Etika lingkungan merupakan bagian filsafat lingkungan dan berupa filsafat terapan, di mana persoalan filsafati direfleksikan sebagai persoalan substantif berdasar pengalaman–pengalaman manusia. Ciri filsafati berkembang setelah mendapatkan perlakuan reflektif. Konsepsi etika lingkungan merupakan perpaduan dari konsepsi etika yang berangkat dari lingkup filsafat umum dan konsep lingkungan yang berawal dari filsafat khusus ( Azhari, 1997 dalam Keraf, 2002).
Menurut Skolimowski karakteristik filsafat lingkungan adalah: (a) berorientasi pada kehidupan; (b) mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai manusia, alam, dan kehidupan; (c) hidup secara spiritual; (d) bersifat komprehensif; (e). berkaitan dengan kebijaksanaan/wisdom (yang dapat diartikan sebagai penggunaan nilai-nilai berdasarkan kriteria kualitatif ); (f ) sadar ekologis dan lingkungan; (g) Bersekutu dengan ekonomi kualitas kehidupan; (h) sadar politis; (i) memperhatikan kesejahteraan masyarakat; (j) menekankan tanggung-jawab individual; (k) toleran dengan fenomena transfisik; (l) sadar akan kesehatan (berada pada kesehatan yang positif berarti berada dalam hubungan-hubungan yang baik dengan dengan kosmos).
Menyikapi terjadinya krisis lingkungan, maka pemikiran mendasar dan korektif diperlukan dalam pengelolaan lingkungan dengan segenap unsurnya (termasuk SDA) yang sudah krisis ini, sehingga pelestarian fungsi, daya dukung dan manfaatnya bagi kehidupan dapat dicapai. Moralitas seperti apa yang perlu dikembangkan dalam menghadapi permasalahan lingkungan yang semakin komplek dan sarat dengan konflik kepentingan? Refleksi kritis yang bagaimana perlu ditumbuhkan serta yang sesuai dengan norma dan nilai yang bersumber dari etika lingkungan bila menghadapi situasi kongkret permasalahan lingkungan dengan segala kompleksitas dan kekhususannya? Demikian juga halnya dengan refleksi kritis yang berhubungan dengan berbagai paham (baik tentang alam lingkungan, sistem sosial politik, sistem ekonomi, dan sebagainya). Hal ini penting direnungkan dan dikaji oleh orang per orang atau kelompok masyarakat dalam menentukan pilihan dan prioritas moral dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun dalam keadaan khusus yang dilematis.
Perkembangan teori etika lingkungan yang mengkaji tentang manusia, alam lingkungan dan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan, utamanya meliputi (Keraf, 2004):
1. Anthroposentrisme
Antroposentrime bersumber dari Kitab Kejadian Dunia, serta pemikiran ahli-ahli filsafat seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descartes, dan Immanuel Kant. Etika lingkungan berdasarkan anthroposentrisme berpandangan bahwa manusia adalah pusat sistem alam semesta. Dalam pandangan ini manusia dengan segenap keinginannya adalah yang terpenting dan sangat menentukan dalam penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan berkaitan dengan alam lingkungannya. Manusialah yang mempunyai nilai tertinggi dan elemen lain dalam tatanan ekosistem yang hanya atau bernilai bila menunjang dan bermanfaat demi kepentingan manusia saja. Falsafah yang mendasari antroposentrisme berpangkal tolak dari pandangan bahwa nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia. Kepentingan serta kebutuhan manusia adalah paling penting dan mempunyai nilai tertinggi. Semua yang ada di alam hanya mempunyai nilai bila dapat memenuhi kebutuhan dan menunjang kepentingan manusia. Etika hanya berlaku untuk manusia. Kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan dianggap tidak relevan kalaupun ada, maka tanggung jawab moral tersebut adalah demi kepentingan manusia. Demikian pula, alam hanya merupakan instrumen bagi manusia.
Antroposentrisme dianggap sebagai teori etika lingkungan yang dangkal serta sempit (shallow environmental ethics) karena mempunyai ciri instrumentalistik dan egoistik (hanya untuk kepentingan manusia), juga dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis lingkungan. Cara pandang antroposentris ini mempengaruhi perilaku manusia yang cenderung mengeksploitasi atau menguras alam serta memperlakukan alam secara berlebihan tanpa atau kurang memperhatikan kelestarian fungsinya. Dalam perkembangannya beberapa ahli filsafat antara lain W.H. Murdy dan F. F. Darling, lebih memperhalus argumen antroposentrisme ini sehingga walaupun manusia dinilai sebagai makhluk tertinggi di alam semesta tetapi kelangsungan hidupnya tidak dapat bertahan bila lingkungannya hancur. Oleh karena itu demi eksitensinya sendiri, maka manusia harus mau dan mampu memelihara lingkungannya termasuk makhluk lainnya yang biasanya selalu dinilai lebih rendah. Manusia sebagai makhluk tertinggi wajib bertanggungjawab dan melindungi makluk lain beserta lingkungannya.
Antroposentrisme merupakan etika lingkungan yang kontroversial dan dianggap sebagai biang keladi krisis lingkungan. Namun ternyata pembela etika antroposentrisme ini juga banyak karena validitas argumentasinya, yang mengatakan bahwa yang salah bukan antroposentrisme sebagai etika, tetapi penerapan antroposentrismenya lah yang berlebihan. Antroposentrisme juga dikatakan mempunyai daya tarik untuk mendorong manusia agar menjaga lingkungan demi keberlanjutan kehidupan, termasuk bisnisnya. Namun motivasinya menjaga lingkungan adalah demi kepentingan manusia itu sendiri.
2. Biosentrisme
Etika lingkungan biosentrisme menyatakan bahwa bukan hanya manusia yang mempunyai nilai, tetapi alam juga mempunyai nilai dan berharga, terlepas dari kepentingan manusia. Pertimbangan moralitas dan penghargaan perlu ditegakkan bagi semua kehidupan dan makhluk hidup, baik yang berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia ataupun tidak. Pusat perhatian biosentrisme adalah kehidupan yang juga bernilai bagi dirinya sendiri oleh karena itu perlu dilindungi. Alam semesta membentuk komunitas moral dan suatu pengambilan keputusan atau tindakan apapun perlu pertimbangan moralitas yang terlepas dari pertimbangan kepentingan manusia. Etika ini berlaku untuk seluruh komunitas biotis:
a. Teori Lingkungan yang Berpusat pada Kehidupan:
Salah satu versinya adalah teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan dengan tokoh Albert Schweitzer yang mengatakan bahwa kehidupan adalah sakral. Manusia menjalani, mempertahankan kehidupannya serta memperlakukan kehidupan dengan sikap hormat yang dalam. Suatu yang baik secara moral adalah bila kita mempertahankan dan mengembangkan kehidupan, dan buruk adalah bila kita merusak kehidupan. Paul Taylor mendasarkan biosentrisme pada empat keyakinan yaitu bahwa: (a) manusia adalah anggota komunitas kehidupan di bumi dalam arti dan kerangka yang sama dengan anggota lainnya; (b) spesies manusia bersama spesies lainnya merupakan bagian dari sistem yang saling tergantung di mana kelangsungan hidupnya dan peluangnya untuk berkembang biak ditentukan oleh relasinya; (c) semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuannya sendiri; (d) manusia tidak lebih unggul dari makhluk hidup yang lain.
Keempat keyakinan tersebut menimbulkan pemahaman baru bahwa manusia hanya makhluk biologis yang sederajad, mendiami bumi yang sama dan sebagai bagian dari keseluruhan alam semesta. Manusia mempunyai akal budi, kebebasan dan kemampuan yang dapat digunakan untuk bertindak secara moral, oleh karena itu manusia adalah pelaku moral. Semua makhluk hidup merupakan subjek moral. Benda abiotik bukan subjek moral tetapi harus diperlakukan dengan etis dan baik karena eksistensinya menentukan kehidupan makhluk hidup yang ada. Sebagai contoh kualitas udara harus dijaga karena udara yang sehat menunjang semua makhluk hidup bergantung padanya. Hutan harus kita lestarikan karena menyangga kehidupan banyak sekali makhluk hidup.
b. Etika Bumi
Terjadinya krisis lingkungan telah memacu Adolf Leopold (seorang ahli dan manager konservasi hutan/hidupan liar) mencetuskan teori lingkungan yang disebut sebagai the land ethic atau etika bumi. Kepedulian terhadap lingkungan yang benar adalah: perwujudan pandangan yang melihat bumi atau alam semesta sebagai subjek moral, sebagai suatu komunitas moral. Manusia adalah anggota suatu komunitas biotis yang saling tergantung dan terkait satu dengan yang lain. Inti etika bumi adalah, bahwa: sesuatu adalah benar bila hal itu melestarikan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik, tidak benar bila tidak demikian adanya. Segala sesuatu di alam semesta adalah subyek moral dan mempunyai nilai pada dirinya sendiri terlepas dari apakah menunjang kepentingan manusia atau tidak. Etika bumi merupakan perluasan batas komunitas dari moral yang baik yang mencakup seluruh manusia tanpa kecuali, serta mencakup pula: tanah, air, tumbuhan, binatang atau bumi secara kolektif.
c. Anti Spesiesisme
Teori ini dicetuskan Peter Singer dan James Rachels, yang hakekatnya menuntut perlakuan sama bagi semua makhluk hidup dengan alasan bahwa semuanya memiliki kehidupan dan pantas mendapatkan perhatian dan perlindungan yang sama seperti halnya spesies manusia. Teori ini merupakan penolakan terhadap antroposentrisme yang dianggap sebagai spesiesisme. Spesiesisme menganggap manusia merupakan spesies unggul dibanding spesies lain (binatang dan manusia). Dasar dari teori anti spesiesisme merupakan versi biosentrisme ini adalah pada prinsip kepentingan semua maklhuk hidup yang harus diberikan nilai yang sama dengan kepentingan manusia.
d. Ekosentrisme
Etika lingkungan ekosentrisme mencakup komunitas ekologis secara keseluruhan, biotik maupun abiotik. Cara pandang ekosentrisme adalah bahwa: secara ekologis, semua makhluk hidup dengan unsur-unsur abiotiknya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, karena itu kewajiban dan tanggung jawab moral tidak terbatas pada manusia dan makhluk hidup lainnya tetapi mencakup pula keseluruhan realitas ekologis. Agar cara pandang dan pembahasan tentang etika lingkungan ini lebih komprehensif, dikemukakan juga tentang: Ekofeminisme dan Prinsip-prinsip Etika Lingkungan.
1. Ekofeminisme
Ekofeminisme dikembangkan oleh Francoise d’ Eaubonne, seorang feminis berkebangsaan Perancis, tahun 1974, menggugat cara pandang dominan patriarkis, maskulin dan hierarkis. Ekofeminisme bukan saja mengkritik antroposentrisme (human-center environmental ethics) tetapi melawan juga androsentrisme yaitu etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki (male centered environmental ethics) dan dominasi laki-laki atas alam sebagai penyebab terjadinya krisis lingkungan. Etika ini juga menganut pandangan integral, holistik, dan intersubyektif. Hal yang menarik untuk digarisbawahi dari etika ini adalah bahwa ekofeminisme berangkat dari asumsi bahwa manusia berada dan menjadi dirinya dalam relasi intersubyektif di mana ada kesetaraan pada semua makhluk ekologis yang mendorong manusia untuk mencintai, memelihara dan merawat makhluk lain sesama anggota komunitas ekologis. Ekofeminisme menawarkan etika yang didasarkan pada nilai-nilai kasih sayang/kepedulian (care), hubungan harmonis, cinta, tanggung jawab dan saling percaya. Etika kepedulian ini juga berlaku dalam kaitan hubungan manusia dengan alam lingkungannya
2. Prinsip-prinsip Etika Lingkungan
Bertolak dari teori etika lingkungan biosentrisme, ekosentrisme, ekofeminisme, dapat ditarik benang merah prinsip-prinsip etika lingkungan sebagai berikut: (a) Sikap hormat kepada alam, (b) Sikap tanggungjawab terhadap alam, (c) Solidaritas kosmis, (d) Prinsip kepedulian dan kasih sayang terhadap alam, (e) Prinsip tidak merusak/merugikan alam, (f ) Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, (g) Prinsip keadilan, (h) Prinsip demokrasi, (i) Prinsip integritas moral


3.4 POLITIK EKOLOGI

Politik ekologi mengkaji perubahan lingkungan yang sangat komplek di mana beragam kelompok yang mempunyai persepsi dan kepentingan yang berbeda terhadap lingkungan dilibatkan. Bagaimana proses dan sebab akibat terjadinya perubahan lingkungan dan, mengapa terjadi ketimpangan dalam pemanfaatan sumberdaya, dan seterusnya. Penerapan etika lingkungan perlu dikaitkan dengan aspek politik dan ekonomi. Dalam hal ini diperlukan komitmen moral pemerintah dan pihak terkait bagi perlindungan lingkungan hidup. Pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) akan berimplikasi pada keseriusan terhadap perlindungan lingkungan.
Etika menjadi lebih makro dan terkait dengan implementasi etika politik dalam pembangunan nasional dengan adanya kebijakan sentral yang memadukan kepentingan pembangunan dengan perlindungan lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan merupakan puncak dari proses politik dan merupakan sebuah agenda politik yang diterima oleh semua negara. Paradigma ini mempertemukan dua kubu yang berseberangan yaitu antroposentrisme dengan ekosentrisme dengan memadukan tiga pilar yaitu pembangunan ekonomi, aspek lingkungan dan aspek sosial secara berimbang dengan memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.
Etika lingkungan sudah mendesak harus segera diterapkan (urgent!). Dapat dikatakan bahwa terjadinya krisis lingkungan yang parah di Indonesia saat ini antara lain belum diterapkannya etika lingkungan yang baik. Perlu kajian aspek manajemen lingkungan dan penggunaan teknologi lingkungan yang tidak parsial. Keberpihakan pada tiga pilar, yaitu: pembangunan lingkungan dan sosial belum seimbang serta tak setara dengan pilar pembangunan ekonomi. Telah sadari bahwa sebenarnya akar permasalahannya akan jauh lebih dalam dan luas bila etika lingkungan belum diterapkan secara benar atau bahkan telah terjadi pula degradasi moral. Bagaimana landasan etika ini dapat diperkokoh dan kemudian dapat mengkristal menjadi tindakan kongkrit ke arah perubahan sebagaimana kita harapkan?
Perlu pendekatan komprehensif-holistik termasuk di antaranya adalah hal-hal mendasar tentang pemahaman dan penerapan etika lingkungan. Refl eksi kritis tentang prinsip moral, nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber pada etika lingkungan tersebut sangat diperlukan dalam menghadapi kompleksitas permasalahan lingkungan secara kongkret dan seringkali dilematis ini.


3.5 KERAGAMAN LINGKUNGAN SOSIAL DI INDONESIA

Indonesia diakui memiliki keanekaragaman hayati ketiga terbesar di dunia (Purba, dalam KLH, 2001), namun kenyataan sebenarnya ‘kekayaan’ ini sudah sangat terdegradasi, akibat dari kebijaksanaan keliru dari pemanfaatan SDA (terutama yang tak terbarukan) pada masa lalu. Kesadaran akan masalah ini sebenarnya sudah amat terlambat, dan akibatnya kita semua (terutama masyarakat menengah ke bawah) cukup menderita saat ini. Namun demikian, kita harus tetap berharap, dapat segera diterapkannya pelaksanaan kebijakan tanpa mengulangi kesalahan masa lalu, antara lain melalui PLH yang arif-bijaksana. Melalui
pengetahuan dan kesadaran, bahwa persediaan SDA yang semakin TIDAK TAK TERBATAS ini, didekatilah PLH yang harus mengacu pada kondisi biogeografis dan sosioekonomibudaya yang juga sangat beragam ini.
Keragaman lingkungan sosial (terutama bidang etika/norma hidup/budaya), di Indonesia mengikuti pula sejarah perkembangan situasi dan kondisi PLH, yang sejak semula secara arif-bijaksana mengikuti pola pemanfaatan yang berkelanjutan. Namun, karena kebutuhan pokok, dan terutama akibat melihat contoh negatif segelintir orang/perusahaan yang menerapkan pola pemanfaatan SDA secara membabi-buta, maka masyarakat lokal pun secara perlahan, mulai meninggalkan kearifan budaya PLH-lokal tsb., sehingga kualitas LH menjadi semakin menurun kualitas maupun kuantitasnya.
Berdasar bentuk mata pencaharian, maka secara umum masyarakat Indonesia ini pun sangat beragam, masih ada kelompok yang hidup di antara hutan alam, dan ‘hanya’ hidup dari hasil kegiatan meramu berburu, berladang berotasi/petani tak menetap/nomaden, sampai ke masyarakat modern di perkotaan, yang sudah menetap biasa hidup di antara ‘hutan’ beton dengan pola kehidupan “modern”, berbasis pada kegiatan produktivitas industri, jasa dan rekreasi (jalan-jalan dari satu ke lain “super mall”), dan seterusnya Seharusnya pemerintah (nasional dan daerah), harus memperhatikan kondisi LH setempat secara khusus, mulai dari pengamatan tingkat kehidupan sosialnya di dalam konstelasi lingkungan yang ada. Masyarakat tepian perairan saja: sudah dapat dibedakan, apakah mereka tinggal di tepian sungai atau danau atau lingkungan pesisir dan pulau-pulau ‘kecil’, sebab kondisi fisik-sosial dan ekonominya pasti berbeda dengan yang hidup di kota-kota besar dan di pulau-pulau yang luas. Belum lagi bila dipertimbangkan pula kondisi iklim, sifat dinamis alam setempat, serta daerah-daerah yang secara fisik berbahaya (rentan), misal: daerah sekitar letusan gunung berapi, wilayah gempa dan kemungkinan bahaya gelombang pasang (tsunami), daerah-daerah rendah atau kemiringan lahan > 45%, dan lain lain.


3.6 DARI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (IPTEK) "KEMBALI" KE KEARIFAN TRADISIONAL

Deep ecology/DE (ekologi dalam) dilontarkan oleh Arne Naess (ahli fi lsafat Finlandia, 1973), merupakan salah satu versi etika lingkungan ekosentrisme yang memusatkan perhatian pada biosfi r secara keseluruhan, bukan hanya untuk jangka pendek melainkan agar memperhatikan pula kemungkinan perkembangan biosfer jangka panjang. Hubungan antar manusia tidak berobah, tetapi manusia dan kepentingannya bukan ukuran bagi segala sesuatu, bukan pula pusat dari dunia moral. Prinsip moral yang dikembangkan DE meliputi seluruh komunitas ekologis. DE mengembangkan prinsip-prinsip moral yang merupakan etika lingkungan praktis, menekankan pada gerakan atau aksi nyata yang kongkrit, mendukung gaya hidup baru yang selaras dan serasi dengan alam, memperjuangkan isu lingkungan dan politik, perobahan paradigma, nilai dan perilaku/gaya hidup. 
Filsafat DE yang dinamakan ecosophy ini merupakan suatu kearifan hidup yang selaras dengan alam dalam keterkaitan dan ketergantungan antara yang satu dengan yang lain dan dengan seluruh alam semesta sebagai sebuah rumah tangga yang utuh menyeluruh. DE dimaksudkan sebagai implementasi etika yang baru, yaitu diperlukannya komitmen bersama yang bersinergi untuk menjadi sebuah gerakan bersama secara global, yang melibatkan seluruh kelompok masyarakat (ecosophy), yaitu gerakan merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga yang memerlukan tempat (ruang kehidupan) yang nyaman. Dengan membangun gerakan seperti ini, melalui sosialisasi kepada semua orang dan antar atau lintas generasi, menjadi suatu etika baru yang sama dengan: gerakan moral untuk menyelamatkan sistem ekologi. Dengan demikian maka krisis ekologi dapat diatasi dan kehidupan dapat diselamatkan. 
Krisis ekologi sama dengan krisis kehidupan, maka untuk dapat menyelamatkan kehidupan diperlukan perubahan pola hidup dan perilaku yang bisa merusak dan mencemari lingkungan hidup, baik secara sendiri-sendiri selaku individu, maupun secara bersama dengan kelompok masyarakat lain, secara utuh memelihara fungsi lingkungan sebagaimana seharusnya seperti yang dikenal dalam sistem pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dalam etika lingkungan dari masyarakat yang berbudaya dan bermoral. 
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikenal sejak dulu dengan kelimpahan keanekaragaman sumber daya hayati dan keanekaragaman serta kemajemukan budayanya. Diperkirakan terdapat lebih dari 555 suku bangsa atau sub-suku bangsa yang berbeda bahasa maupun budaya lokalnya yang tersebar di seluruh nusantara. Kearifan lingkungan yang masih berlangsung sampai sekarang, meski diketahui sudah mulai terkikis oleh kehidupan modern. 
Kearifan budaya suku-suku bangsa ini merupakan hasil abstraksi dari pengalaman dalam mengelola lingkungan yang sudah ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun lalu, meski kebanyakan diturunkan hanya melalui bahasa atau budaya tutur saja, atau melalui mantra-mantra khusus sebagai penjabaran dari sistem budaya, namun dapat dihayati dan dianut oleh seluruh anggota masyarakat pendukungnya, menjadi‚ pedoman atau kerangka acuan’ dalam melihat, memahami dan memilah-milah gejala yang dihadapi sehari-hari, kemudian memilih dan menetapkan strategi dalam bersikap atau bertindak dalam pengelolaan lingkungan dan SDA-nya. (Intellectual property right, local knowledege, folk knowledge). Karena itu kearifan pengelolaan sumber daya dan lingkungan sebagai akar budaya masyarakat Indonesia ini perlu mendapat perlindungan, penghargaan dan penghormatan yang sesuai dan memadai. Misalnya melindunginya dengan perangkat hukum lokal atau hukum nasional yang terkait dan masih berlaku dan sesuai dengan kebutuhan kemanusiaan.
Diperlukan pula tindakan berupa: ”Inventarisasi dan revitalisasi“ masing-masing komunitas, yang telah nyata memiliki SD (modal) sosial yang bermanfaat bagi pembangunan, yaitu berupa: pengetahuan tradisional, etika lingkungan dan pranata sosial yang diwarisi secara turun temurun dan yang telah terbukti sangat efektif dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan menjamin keserasian lingkungan sosial dan binaannya.
Efektivitas teknologi yang arif lingkungan tersebut, dikemukakan sebagai contoh, antara lain (KLH, 2001) : Sistem rotasi perladangan yang dikembangkan masyarakat lokal Kalimantan sebetulnya masih bisa bermanfaat dalam memulihkan kesuburan tanah, bila memenuhi persyaratan tertentu, yaitu apabila jumlah penduduk sesuai dengan rasio luasnya ruang hidup yang masih mampu mendukung atau menampung kehidupan sekelompok masyarakat itu sendiri, seperti misalnya; Pranata masyarakat SASI di Maluku sebagai norma perlindungan perairan serta menunjukkan budaya gotong-royong serta saling kepedulian di antara anggota masyarakat; Rempong Damar, sebagai sebuah model konservasi, dikembangkan oleh masyarakat Krui, di Lampung Barat; Teknologi Hompongan pada masyarakat Kubu, sebagai upaya membentengi hutan dari eksploitasi SD-hutan; Awig-awig di Bali, yang sampai sekarang telah terbukti sebagai sistem yang sangat efektif, dan masih banyak lagi.
SD-sosial yang arif lingkungan telah tergeser oleh persebaran nilai-nilai baru yang terbawa oleh kegiatan pembangunan, ditandai oleh penerapan IPTEK maju yang berpedoman pada nilai-nilai industri. Nilai-nilai baru telah menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa memperhatikan kelestarian fungsi dan kebiasaan dan keserasian lingkungan sosial dan binaan. Hal ini akan merugikan pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri. Orang Dayak berkata: „Hancurnya hutan alam akan menghancurkan kita juga“, karena rasa menyatunya dengan alam begitu berarti.

Sumber : Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL (Pusdiklat Kementerian Negara Lingkungan.Hidup) 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sapaan dalam Bahasa Banjar

Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)

Bahasa Banjar