URGENSI ETIKA LINGKUNGAN

KRISIS LINGKUNGAN 
Pembangunan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta perekonomian yang semakin maju, telah mendatangkan banyak kemudahan dan kenyamanan serta tingkat hidup lebih tinggi. Revolusi hijau meningkatkan produksi pangan. Kemajuan telekomunikasi yang sangat cepat menyediakan kemudahan komunikasi pribadi maupun bisnis. Pembangunan jaringan jalan bebas hambatan membuat jarak dan waktu tempuh antar kota menjadi lebih pendek. Pembangunan industri menghasilkan berbagai produk kebutuhan hidup yang serba lengkap, dan lain-lain. Namun di lain pihak kita semua juga telah merasakan dampak negatif upaya peningkatan kemajuan pembangunan tersebut, bagaimana pencemaran, penipisan persediaan SDA dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya telah berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Krisis lingkungan telah membelenggu kita dilihat dari ukuran skala maupun kompleksitas permasalahannya, sehingga di beberapa tempat telah sampai pada tingkat mengkhawa-tirkan (BAPPENAS, 2003):
a. llegal logging menyebabkan kerugian negara Rp 30,42 trilyun per tahun, dengan laju kerusakan1,6 – 2 juta ha per tahun – bahkan sekarang telah mencapai lebih dari 3 juta ha/tahun.
b. Kerusakan sumberdaya laut dan pesisir semakin luas dan meningkat akibat pengambilan pasir laut dan batu karang secara besar-besaran, penangkapan sumberdaya perikanan tak ramah lingkungan dengan menggunakan bom, racun potasium serta eksploitasi ikan secara berlebih (over fi shing). Berbagai kapal asing melakukan pencurian ikan dengan perkiraan kerugian negara 36 trilyun per tahun. Terumbu karang kita 41% rusak parah, 29% rusak, 25 % memadai, hanya 5% yang dalam kondisi baik. Terjadi konversi hutan mangrove secara besar-besaran hampir di seluruh daerah, sebagai contoh, di Sulawesi saja 50% hutan mangrove telah dikonversi, baik sebagai areal perluasan tambak, industri (pariwisata) maupun kegiatan lain.
c. Pencemaran udara terjadi, bukan saja di kota-kota besar tetapi juga di perdesaan. Waktu musim kemarau hampir selalu terjadi kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak gangguan pencemaran udara pada kesehatan, penerbangan dan berbagai aktivitas ekonomi lain. Asapnya pun sudah tertiup sampai ke atas udara Singapore dan Malaysia sehingga berpotensi menjadi pengganggu hubungan diplomatik antar negara. Hasil pemantauan beberapa parameter pencemar udara (debu, SO2, NOx, CO, HC dan PB) menunjukkan kualitas udara ambien beberapa kota besar memprihatinkan.
d. SD-air telah menurun kuantitas dan kualitasnya akibat penggundulan hutan di daerah hulu DAS serta perobahan fungsi daerah tangkapan air, akibat hilangnya danau, situ, rawa, dan sebagainya. Selama tahun 2003 terjadi defisit air sebesar 13,4 milliar m3 di pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Penurunan kualitas air juga terjadi akibat pencemaran limbah industri, tambang dan domestik, terjadinya erosi serta berkembang biaknya alien spesies yang invasif seperti enceng gondok di perairan tawar, mahkota duri (Acanthaster planci) di perairan laut, dan seterusnya.
e. Sistem pengelolaan limbah (padat dan cair) umumnya belum baik, masih dilakukannya pembuangan terbuka (open dumping). Terjadi kesenjangan pengelolaan sampah domestik kota di tingkat local (RT/RW) dengan keterbatasan kapasitas pengangkutan. Bencana lingkungan akibat tingginya timbunan telah memakan korban akibat longsornya bukit-bukit sampah tersebut, seperti di di Leuwigajah dan Bantar Gebang dan di TPA-TPA lain.
f. Indonesia terkenal sebagai negara mega diversity, namun telah terjadi erosi keanekaragaman hayati pada tingkat yang mencemaskan. Beberapa spesies telah punah, 160 spesies dalam katagori sangat kritis dan terancam punah, 175 jenis terancam punah, dan 465 jenis terancam/langka.

g. Masih banyak lagi degradasi lingkungan yang terjadi akibat pola produksi dan pola konsumsi tak ramah lingkungan, meliputi masalah kependudukan, krisis energi, penegakan hukum lingkungan yang lemah, pengaruh perrmasalahan lingkungan global seperti pemanasan bumi, penipisan lapisan ozon, hujan asam dan sebagainya membuat daftar panjang ancaman terhadap lingkungan. Kerugian negara akan jauh lebih besar dan berlipat ganda dari angka-angka tersebut di atas bila dampak kerusakan dan pencemaran yang terjadi diperhitungkan dalam neraca pembangunan perekonomian secara menyeluruh.

KUALITAS HIDUP MANUSIA
Perkembangan kebudayaan manusia menunjukkan, bahwa manusia tidak bisa hanya sekedar memenuhi kebutuhan hayati, agar memenuhi kebutuhan pokok untuk bisa hidup, seperti: makan, minum, memelihara kesehatan, dll; tetapi juga perlu kebutuhan sekunder (sandang, papan, pendidikan, rekreasi, dan sebagainya.). Lebih jauh lagi, sehubungan dengan semakin meningkatnya prasyarat kehidupan yang senantiasa terus berobah dan meningkat, manusia juga mempunyai kebutuhan tersier, yaitu kebebasan menentukan pilihan, seperti selera kebudayaan.
Sementara itu, jumlah sumberdaya terbatas, maka dengan populasi manusia yang terus meningkat, sebenarnya kualitas kehidupan menjadi semakin menurun (Rumus 1: Q semakin turun).


Jumlah populasi manusia perlu ditekan, misalnya dengan Program Keluarga Berencana (KB), tetapi hendaknya dibarengi dengan usaha terus-menerus untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Melalui pengendalian pola hidup hemat, misalnya: dengan tidak menjadi loba (tamak, rakus) setelah kebutuhan pokok penunjang kehidupan terpenuhi, kemewahan tidak berlebihan, kebutuhan yang didorong oleh martabat, maka kualitas hidup (kebersamaan) pun akan bertambah baik.

TEKNOLOGI, DAYA DUKUNG DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN 
Model kualitas hidup (Q) di atas dapat ditingkatkan melalui rekayasa teknologi, sehingga nilai Q bisa meningkat sampai melampaui nilai R. Secara hayati penggunaan teknologi oleh manusia, menyebabkan kedudukan dan fungsinya dalam ekosistem berubah menjadi transendental terhadap kelompoknya sebagai makhluk hidup ”hewani“. (Gambar 1).
Dengan demikian, ekosistem atau lingkungan hidup alaminya akan berubah menjadi lingkungan hidup buatan (man made environment), Gambar 2“ melukiskan ‚SATU’-nya ekosistem dan lingkungan hidup (LH), serta timbulnya limbah dalam lingkungan hidup buatan, karena kecepatan perombakan atau proses daur ulang lain yang berlangsung tidak secepat dengan terbentuknya limbah itu sendiri.


Limbah yang dikeluarkan (eksternalisasi) dari sistem yang menghasilkannya, sehingga menimbulkan ‘tragedi; milik umum, yakni sungai yang dikotori, udara tercemar, timbunan sampah mencemari media tanah dan terserak di tepi jalan, menimbulkan pemandangan tidak sedap, bahkan menjadi bencana (kasus Leuwigajah, Bandung), menjadi sumber (vektor) penyakit, dst. Seharusnya diusahakan agar sistem tersebut mampu menyerap dan merobah limbah sebagai sumberdaya yang baik langsung maupun tidak, melalui teknologi penguraian oleh „jasa“ jasad renik perombak (mikroba). Harap selalu diingat bahwa kemampuan penyerapan ‚alami’ oleh lingkungan itu pun terbatas, sesuai dengan besaran daya dukung
dan daya tampung (ruang)-nya. Tinggal manusia mau dan mampu melihat berbagai masalah, kemudian menggunakan kesempatan untuk memanfaatkan masalah (problems as opportunities) tersebut., seperti pemanfaatan gulma (eceng gondok, yang diolah menjadi barang kerajinan, pupuk/kompos, dan lain lain), sehingga bisa bernilai-guna kembali.
Hubungan ‘dunia alami’ dengan ‘dunia sosial-budaya’ (lingkungan manusia), dan dengan berbagai disiplin ilmu yang terkait dalam lingkungan, digambarkan lebih jelas lagi dalam ilustrasi (Gambar 3), sebagai berikut:


Sumber : Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL (Pusdiklat Kementerian Negara Lingkungan.Hidup) 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Sapaan dalam Bahasa Banjar

Pendekatan Keruangan (Spatial Approach)

Bahasa Banjar